GridHEALTH.id - BPA alias Bisfenol A dalam wadah makanan terus menjadi bahasan yang menarik hingga saat ini.
Karenanya banyak yang mengangkat isu BPA ini untuk maksud dan tujuan tertentu.
Ada yang menyebutkan jiak BPA sebabkan infertilitas. Apakah benar demikian?
Ketahuilah, BPA merupakan bahan kimia yang telah digunakan selama lebih dari 40 tahun dalam pembuatan plastik polikarbonat (PC) dan resin epoksi.
Turunan BPA digunakan, dalam batas tertentu, sebagai bahan tambahan dalam plastik polivi nil klorida (PVC).
Polikarbonat banyak digunakan sebagai bahan kemasan pangan, antara lain botol susu bayi, botol air minum (gallon), dan tableware.
Resin epoksi digunakan sebagai pelapis pelindung bagian dalam kaleng makanan dan minuman, termasuk makanan formula bayi kalengan yang berbentuk cair.
Polikarbonat dan resin epoksi juga digunakan dalam produk konsumen yang digunakan sehari-hari seperti peralatan elektronik (misalnya komputer dan ponsel), peralatan medis, helm, dan lain-lain.
Jadi BPA digunakan dalam bahan kemasan untuk berbagai tujuan.
Baca Juga: Stroke Mata Bisa Sebabkan Kebutaan, Gejalanya Sering Tak Disadari
Pada penggunaan sebagai pelapis bagian dalam kaleng, dimaksudkan untuk mencegah korosi kaleng dan kontaminasi pada makanan dan minuman terhadap logam yang terlarut serta menjaga kualitas dan keamanan makanan kaleng.
Sedangkan penggunaannya dalam plastik polikarbonat untuk makanan dan minuman dipilih karena plastik jenis tersebut tidak mudah pecah, ringan, jernih, dan tahan panas.
Jadi sejak awal digunakan BPA bertujuan melindungi konsumen.
Bahaya BPA Bagi Kesehatan, Faktanya ...
Meski demikian ada juga pendapat yang mengatakan bahwasannya BPA berbahaya bagi kesehatan.
Salah satunya menyatakan Senyawa BPA mempunyai efek seperti hormon estrogen sehingga diduga merupakan “endocrine disruptor” (mengganggu hormon endokrin).
Pendapat tersebut dilatar belakangi dari percobaan pada hewan, senyawa ini diduga menimbulkan gangguan kesehatan pada dosis yang rendah antara lain berupa gangguan pertumbuhan; sistem reproduksi; otak; kelenjar prostat; sistem syaraf; dan tingkah laku.
Hanya saja, melansir Laman Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Direktorat Pengelolaan B3, pada artikel 'Bisfenol A Dalam Kemasan Pangan' yang ditulis oleh Dwi Retno Widiastuti, ST, disebutkan ada ketidakpastian dalam menafsirkan relevansi studi di atas pada kesehatan manusia.
World Health Organization (WHO) dan Food and Agricultural Organization (FAO) - United Nations, telah mengadakan pertemuan para ahli dari berbagai negara untuk mengkaji keamanan BPA yang diselenggarakan pada 1 – 5 November 2010 di Ottawa, Kanada.
Baca Juga: 5 Gangguan Pencernaan Anak Setelah Lebaran, Waspadai Muntah Hijau
Nah, dalam pertemuan tersebut disimpulkan beberapa hal, antara lain secara umum paparan BPA pada manusia terlalu rendah untuk dapat mengakibatkan gangguan kesehatan; hasil evaluasi studi mengenai toksisitas BPA pada pertumbuhan dan reproduksi, menunjukkan timbulnya gangguan kesehatan tetapi hanya pada dosis yang tinggi; dan untuk beberapa studi terbaru menunjukkan adanya hubungan antara paparan BPA pada tingkat yang rendah dengan timbulnya gangguan kesehatan, akan tetapi sulit untuk menafsirkan relevansinya terhadap kesehatan manusia.
BPA Sebabkan Infertilitas, Faktanya ...
Sedangkan menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Hasto Wardoyo, melansir dari Tempo.co (20/04/2022), menyatakan klaim tentang paparan Bisphenol-A akibat peluruhan zat tersebut dari bahan plastik (polikarbonat) pada galon isi ulang air minum dalam kemasan (AMDK) dapat menyebabkan infertilitas terhadap manusia masih sulit dibuktikan secara keilmuan.
Hasto menyebutkan sejumlah jurnal yang memang melakukan penelitian terhadap efek Bisphenol-A (BPA) pada mahluk hidup.
Namun berbagai penelitian tersebut baru dilakukan pada hewan. Hasilnya memang menunjukkan bahwa ada dampak buruk terhadap hewan yang menjadi uji coba. Salah satu hasilnya dapat menurunkan kualitas sperma.
“Tapi pada manusia sangat sulit dilakukan penelitian (seperti pada hewan), karena meneliti harus dengan obyektivitas yang tinggi, harus dengan kontrol,” jelas Hasto.
Ada beberapa penyebab sebuah penelitian tidak dapat diaplikasikan pada manusia dengan sebarang.
Pertama, sebuah zat atau material yang diduga memiliki efek buruk tidak bisa dengan mudah menjadikan manusia sebagai obyek eksperimen. “Ya nggak boleh dapat izin,” ujarnya.
Kedua, infertilitas pada manusia dapat disebabkan oleh berbagai hal. Salah satunya akibat terlalu banyak mengonsumsi makanan atau minuman yang mengandung phytoestrogen.
Baca Juga: Waspada, Menkes Sudah Sebut ada 15 Kasus Hepatitis Akut Ditemukan di Indonesia
Zat ini faktanya terdapat pada kacang-kacangan seperti kacang kedelai. Masyarakat Indonesia cukup akrab dengan kacang kedelai yang menjadi bahan pembuatan tahu dan tempe.
“Jadi harus bisa membedakan, jangan-jangan infertilitas bukan karena air mineral, tapi karena konsumsi makanan yang mengandung phytoestrogen,” ucap dokter ahli kebidanan dan kandungan ini.
Ketiga, Hasto melanjutkan, pada sebagian kelompok manusia mengidap kelainan yang disebut polikistik over.
“Ciri khasnya itu yang rambutnya gede, kulitnya kasar, banyak jerawat. Kemudian ada juga perempuan yang obese atau kegemukan. Ternyata, ditemukan bahwa kadar BPA pada golongan tersebut lebih tinggi dibanding orang normal,” paparnya.
Jadi penelitian terhadap dampak BPA pada infertilitas masih belum memenuhi kaidah ilmiah. Dalam ilmu kedokteran, ucap Hasto, terbagi menjadi lima level.
Pada level 1 atau yang tertinggi berarti telah diakui oleh seluruh ilmuwan karena memang terbukti. Inilah yang disebut kaidah ilmiah. Untuk level ini sah saja menjadi rekomendasi kesehatan, contohnya tentang dampak merokok pada kesehatan.
Seluruh penelitian di mana pun akan menemukan hasil yang sama.
Sementara di level terbawah, level 5, merupakan perkataan para ahli. Misalnya dokter Hasto sudah diakui sebagai ahli kandungan, kebidanan, dan ahli bayi tabung, maka pendapatnya akan diakui oleh grupnya, sesama ahli.
“Nah, masalah BPA itu masuk ke level 5 saja belum, masih jauh. Kalau di mata ilmuwan, artinya tidak bisa memberikan rekomendasi untuk melarang atau menganjurkan,” ucap alumni Universitas Gajah Mada tersebut.
Baca Juga: Cuaca Panas Membawa Dampak Kesehatan, Bisa Menyebabkan Gangguan Mental
“Jadi level tadi itu kalau di Islam bisa diibaratkan dengan hadis. Ada hadis yang sahih itu di level 1, ada pula hadis yang lemah.”
Isu BPA lainnya pun diluruskan oleh Hasto, yaitu BPA memicu kenaikan gula darah.
Jika terbukti memicu kenaikan gula darah maka dapat menyebabkan infertilitas. “Tapi tidak terbukti. Jadi, orang yang terpapar BPA tidak ada hubungannya dengan infertilitas karena berbagai faktor tadi,” kata Hasto.
Hal senada siutarakan oleh Dokter Anak, Tubagus Rachmat Sentika Hasan. Menurutnya, selama bertahun-tahun praktik belum pernah menemui kasus anak yang keracunan BPA dari botol minuman atau sumber makanan.
“Sampai hari ini saya belum dapat pasien yang disebabkan oleh efek Bisphenol yang tinggi,” ujarnya.
Justru yang kerap dijumpai karena keracunan dari oli, bensin, atau minyak pelumas lainnya. Keracunan pada anak kerap terjadi lantaran orang tua lalai menaruh barang-barang berbahaya di rumah.
Sementara mengenai kandungan BPA pada AMDK, dokter Rachmat menyatakan kalau masih di bawah ambang batas dan para ahli kesehatan telah menyebutkan masih aman maka bisa diikuti.
“Apalagi BPOM sudah me-launching kalau masih di bawah 0,1 ya bagus dong. Berarti yang diperiksa pada air mineral itu tidak jadi masalah,” ucapnya.
Hasto pun mengimbau media menjalankan peran untuk memberi informasi sekaligus edukasi sehingga masyarakat dapat menilai sebuah sumber berita berasal dari hasil keilmuwan yang dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
“Isu publik itu banyak sekali yang jadi isu populer tapi tidak ada dasar yang kuat. Media harus selektif,” ujarnya.(*)
Baca Juga: 4 Olahraga Ringan Bisa Kecilkan Perut dan 3 Penyebab Tetap Saja Buncit
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar