GridHEALTH.id - Perlu digarisbawahi, berhubungan seks tidak membuat sebagian besar penyintas berisiko mengalami stroke lagi.
Bercinta memang membutuhkan energi sebanyak menaiki satu atau dua anak tangga. Detak jantung semakin cepat dan pernapasan menjadi lebih berat, tetapi itu normal.
Tetapi banyak penyintas menemukan bahwa mereka tidak terlalu tertarik pada hubungan seksual. Mungkin ada masalah citra tubuh karena hemiplegia (kelumpuhan pada satu sisi tubuh), air liur, wajah terkulai atau ketidakmampuan untuk berbicara dengan jelas.
Kelelahan adalah masalah umum lainnya, karena penyintas mungkin memerlukan lebih banyak waktu istirahat sepanjang hari. Maka itu waktu terbaik untuk berhubungan seks mungkin setelah istirahat atau di pagi hari.
Selain itu, bagi sebagian pria, obat-obatan dapat mencegah ereksi. Beberapa obat antidepresan dan tekanan darah mengurangi libido (hasrat seksual) dan kinerja.
Jika pasien minum obat untuk tekanan darah tinggi, rencanakan aktivitas seksual sebelum minum pil.
Ini dapat membantu kita menghindari impotensi yang disebabkan oleh obat-obatan. Tetapi jangan pernah berhenti minum obat tanpa berkonsultasi dengan dokter.
Dokter mungkin meresepkan obat untuk mengobati impotensi. Pria harus menghindari obat disfungsi ereksi jika mereka minum obat untuk angina.
Masalah-masalah itu bisa membuat frustrasi dan dapat mengubah hubungan seksual lebih dari kelumpuhan.
Baca Juga: Stroke Mata Bisa Sebabkan Kebutaan, Gejalanya Sering Tak Disadari
Baca Juga: Cuaca Panas Membawa Dampak Kesehatan, Bisa Menyebabkan Gangguan Mental
Jika kita memiliki masalah dengan ingatan, depresi atau fokus, mintalah dokter untuk merekomendasikan seseorang yang dapat membantu dalam manajemen perilaku dan membangun kembali hubungan kita.
Komunikasi adalah unsur utama dalam kehidupan seks yang memuaskan, dan penderita afasia atau kehilangan kemampuan untuk memahami atau mengekspresikan ucapan masih dapat menikmati seks.
Pelajari cara lain untuk mengomunikasikan kebutuhan seksual. Misalnya, penggunaan sentuhan dan belaian.
Ada yang perlu menjadi perhatian, yakni perilaku kita mungkin dipengaruhi oleh tempat terjadinya stroke di otak.
Jika stroke terjadi di lobus frontal, korban mungkin kurang menyadari perilaku yang sesuai secara sosial dan merasa kurang terhambat.
Jika itu terjadi di lobus temporal, orang yang selamat mungkin mengalami penurunan gairah seksual. Jika stroke terjadi di otak kiri, penderita mungkin lebih tertekan, yang juga dapat mempengaruhi keinginan.
Ada kemungkinan (tetapi jarang) bahwa stroke dapat meningkatkan gairah seks dan bahkan menyebabkan penderita menjadi hiperseksual dan memiliki pendekatan seks yang tidak tepat. Dalam hal ini, penting untuk menetapkan batasan.
Beberapa pasangan harus mempelajari kembali posisi mana yang paling nyaman. Bantal atau penyangga dapat melindungi sisi tubuh yang lebih lemah, dan orang yang lebih banyak bergerak harus mengambil posisi teratas.
Minta terapis untuk merekomendasikan posisi yang berbeda. Jika khawatir tentang kontinensia urin, ada baiknya jika korban berkemih sebelum berhubungan seks.
Baca Juga: 5 Olahraga Aman Untuk Penderita Skoliosis, Tak Menimbulkan Risiko
Tentu saja, waktu untuk melanjutkan aktivitas seksual setelah stroke bersifat pribadi dan akan bervariasi dalam setiap situasi. Faktor termasuk stabilitas medis, adanya pasangan dan privasi (jika ada pengasuh tambahan di rumah).
Jangan mencoba memaksakan masalah. Kembali ke aktivitas seksual membutuhkan kesabaran dan dukungan dari pasangan. (*)
Source | : | WebMD |
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar