GridHEALTH.id - Mengapa kita harus menjaga bumi? Tidak lain, salah satunya supaya tidak terjadi krisis iklim, yang kini sudah mulai dirasakan.
Krisis iklim ini harus diwaspadai karena berpengaruh pada banyak sektor.
Prof. Dr. Tjut Sugandawaty Djohan, M.Sc., Guru Besar Laboratorium Ekologi dan Konservasi Fakultas Biologi UGM, menuturkan saat ini perubahan iklim adalah krisis yang menentukan keadaan global.
Menurutnya, perubahan atau krisis ini terjadi lebih cepat dari yang ditakutkan.
Menurut Tjut tidak ada sudut dunia yang kebal dari konsekuensi perubahan iklim yang menghancurkan.
Baca Juga: Setelah AS, Kini Kanada Izinkan Vaksin Moderna Untuk Usia 5 Tahun Kebawah
Dampaknya beragam mulai dari meningkatnya suhu memicu degradasi lingkungan, bencana alam, cuaca ekstrem, kerawanan pangan dan air, gangguan ekonomi, konflik.
Selain itu, permukaan laut naik, kutub mencair, criosfer mencair, terumbu karang mati, lautan menjadi asam dan hutan terbakar.
“Oleh karena itu, dunia harus bertindak. Prihatin tentang bahayanya perubahan iklim global, tahun 1997, 166 negara bertemu di Kyoto membuat janji untuk mereduksi CO2 emisi dan gas rumah kaca lainnya. Pada pertemuan tersebut disepakatilah Kyoto Protocol. Selain itu, UN (United Nation) juga tidak tinggal diam dan membentuk badan IPCC,” ujar Tjut Sugandawaty dalam webinar tentang krisis iklim (27/6), dilansir dari ugm.ac.id (30/06/2021).
Satu hal yang harus diwaspadai karena krisis iklim adalah munculnya banyak penyakit.
Para ahli penyakit menular telah lama memperingatkan bahwa krisis iklim dan perusakan alam akan meningkatkan risiko penularan virus dari hewan ke manusia, dalam peristiwa yang dikenal sebagai “zoonotic spillovers”.
Salah satu penyakit yang sedeng banyak yang menyoroti saat ini adalah virus Langya.
Baca Juga: Ternyata Seperti Ini Proses Terjadinya Tekanan Darah Tinggi dalam Tubuh
Para peneliti telah mulai melacak virus yang baru diidentifikasi di China, dengan lusinan kasus yang tercatat sejauh ini.
Novel Langya henipavirus (LayV) pertama kali terdeteksi di provinsi timur laut Shandong dan Henan pada akhir 2018 tetapi hanya diidentifikasi secara resmi oleh para ilmuwan minggu lalu.
Virus itu kemungkinan ditularkan dari hewan ke manusia, kata para ilmuwan, dan otoritas kesehatan Taiwan sekarang memantau penyebarannya.
Para peneliti menguji hewan liar dan menemukan RNA virus LayV di lebih dari seperempat dari 262 tikus, “sebuah temuan yang menunjukkan bahwa tikus tersebut mungkin merupakan reservoir alami”.
Virus ini juga terdeteksi pada 2% kambing domestik dan 5% anjing.
Investigasi awal terhadap virus diuraikan dalam korespondensi yang diterbitkan oleh para ilmuwan dari China, Singapura dan Australia di New England Journal of Medicine (NEJM) minggu lalu, dilansir dari Guardian (10/08/2022).
Baca Juga: Posisi Seks Aman Saat Hamil Muda, Tidak Takut Keguguran, Terpuaskan
Baca Juga: Supaya Perkembangan Janin Tidak Terganggu, 5 Makanan Ini Harus Ibu Hamil Hindari
Pada manusia, virus langya gejala demam, kelelahan, batuk, kehilangan nafsu makan dan nyeri otot.
Tapi tidak ada kematian akibat LayV hingga saat ini. Prof Wang Linfa dari Duke-NUS Medical School, rekan penulis makalah NEJM, mengatakan kepada Global Times yang dikelola pemerintah bahwa kasus LayV sejauh ini “tidak fatal atau sangat serius” dan bahwa “tidak perlu untuk panik".
Masih belum jelas apakah virus tersebut dapat ditularkan antar manusia, kata para peneliti.
Para ilmuwan kini mengurutkan genom LayV dan menentukan itu adalah henipavirus, kategori virus RNA zoonosis yang juga mencakup virus Hendra dan virus Nipah. Virus Hendra – yang menyerang kuda dan manusia dan berasal dari Australia – dan virus Nipah – yang menyebabkan wabah penyakit di Asia Tenggara – keduanya dikaitkan dengan tingkat kematian yang tinggi.
LayV paling dekat hubungannya dengan virus Mojiang, yang ditemukan di Cina selatan.(*)
Baca Juga: Ini yang Dimaksud Belum Solid Prihal Virus Langya, Alasan Indonesia Wajib Waspada
Source | : | UGM.ac.id-iklim,Guardian-virus |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar