Bahkan, ada juga orang-orang yang menjual antibiotik secara bebas di luar apotek maupun toko obat kepada masyarakat luas dan tanpa memerhatikan dosis penggunaan.
"Seperti itulah yang menyebabkan kita mengetahui bahwa kepedulian terhadap ini (AMR) belum sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat," jelas Anis Karuniawati.
Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai, seperti untuk mengatasi sakit tenggorokan, juga merupakan salah satu faktor penyebab resistensi antimikroba.
Menurut Anis, sebagian besar sakit tenggorokan yang terjadi disebabkan oleh virus dan bukan bakteri.
Selain itu, konsusmi antibiotik yang tidak sampai habis, juga merupakan pemicu resistensi antibiotik.
Lantas, seperti apa kondisi seseorang yang sudah mengalami resistensi ketika sakit?
"Sebenarnya gejala penyakitnya sama saja. Kalau pneumonia, dia batuk (dan) demam. Cuma bedanya, kalau resisten saat itu, tentu nggak sembuh-sembuh, sakitnya lama," tutur Anis.
Namun, ada juga orang yang mengalami resistensi antibiotik dan kondisinya tetap membaik setelah menjalani pengobatan.
Hal tersebut memang tetap mungkin terjadi, karena sekitar 80% bakteri yang menyebabkan infeksi telah terbunuh.
"Ada sebagian kecil yang resisten, pasien klinisnya sembuh, sehat. Tapi, nanti beberapa bulan atau tahun kemudian timbul gejalanya lagi," pungkas Anisa. (*)
Baca Juga: Silent Pandemic Tidak Tersorot, Sebabkan Kematian 1,27 Juta Orang Meninggal Tiap Tahun Gegara AMR
Source | : | liputan |
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar