GridHEALTH.id - Resistensi antimikroba (AMR) atau resistensi antibiotik merupakan masalah kesehatan besar yang dihadapi di berbagai negara.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, ada sekitar 4,9 juta orang di dunia yang meninggal akibat situasi ini.
Technical Officer (AMR) WHO Indonesia, Mukta Sharma, bahkan mengatakan bahkan setiap tiga menit ada anak yang meninggal karena sepsis atau penyakit parah.
Peningkatan angka kejadian resistensi antimikroba di Indonesia
Indonesia termasuk ke dalam salah satu negara yang menghadapi kenaikan kasus AMR. Terdapat 20 rumah sakit yang rutin melaporkan hal ini sejak 2019 dan 2020.
"Data GLASS (Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System), diambil dari data spesimen darah, yang artinya pasien itu merupakan pasien sepsis atau sakit berat," kata Dr. Anis Karuniawati, Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kemenkes, dalam media briefing WHO di Westin Jakarta, Rabu (12/10/2022).
Dalam satu tahun, terlihat kasus resistensi antimikroba (AMR) maupun antibiotik meningkat sebesar 10-15%.
Padahal, aturan penggunaan antibiotik oleh masyarakat sudah diatur oleh Kementarian Kesehatan sejak 2015.
Apa penyebab kenaikan resistensi antimikroba?
Walaupun sudah ada aturan yang tetap dan membutuhkan resep, tapi pada kenyataannya antibiotik mudah didapatkan oleh masyarakat secara bebas.
"Semua orang bisa membeli antibiotik itu di apotek maupun di toko obat. Toko obat seharusnya tidak boleh (menjual), ini juga jadi masalah," ujarnya.
Baca Juga: India Hadapi Infeksi Superbug Kebal Antibiotik, Ribuan Orang Masuk Rumah Sakit
Bahkan, ada juga orang-orang yang menjual antibiotik secara bebas di luar apotek maupun toko obat kepada masyarakat luas dan tanpa memerhatikan dosis penggunaan.
"Seperti itulah yang menyebabkan kita mengetahui bahwa kepedulian terhadap ini (AMR) belum sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat," jelas Anis Karuniawati.
Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai, seperti untuk mengatasi sakit tenggorokan, juga merupakan salah satu faktor penyebab resistensi antimikroba.
Menurut Anis, sebagian besar sakit tenggorokan yang terjadi disebabkan oleh virus dan bukan bakteri.
Selain itu, konsusmi antibiotik yang tidak sampai habis, juga merupakan pemicu resistensi antibiotik.
Ciri resistensi antimikroba
Lantas, seperti apa kondisi seseorang yang sudah mengalami resistensi ketika sakit?
"Sebenarnya gejala penyakitnya sama saja. Kalau pneumonia, dia batuk (dan) demam. Cuma bedanya, kalau resisten saat itu, tentu nggak sembuh-sembuh, sakitnya lama," tutur Anis.
Namun, ada juga orang yang mengalami resistensi antibiotik dan kondisinya tetap membaik setelah menjalani pengobatan.
Hal tersebut memang tetap mungkin terjadi, karena sekitar 80% bakteri yang menyebabkan infeksi telah terbunuh.
"Ada sebagian kecil yang resisten, pasien klinisnya sembuh, sehat. Tapi, nanti beberapa bulan atau tahun kemudian timbul gejalanya lagi," pungkas Anisa. (*)
Baca Juga: Silent Pandemic Tidak Tersorot, Sebabkan Kematian 1,27 Juta Orang Meninggal Tiap Tahun Gegara AMR
Source | : | liputan |
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar