GridHEALTH.id - Kementrian Kesehatan RI berikan imbauan kepada masyarakat, seluruh dokter, hingga apoteker untuk berhati-hati sebagai upaya pencegahan dalam menggunakan obat sirup penurun demam anak.
Himbauan ini dilakukan setelah ditemukan banyaknya kasus gangguan ginjal pada anak di 20 provinsi Indonesia, dengan total per 18 Oktober 2022 ini berjumlah 206 anak dengan angka kematian sebanyak 99 anak.
Orangtua diminta untuk tidak panik namun tetap waspada dalam menghadapi penemuan kasus ini, salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan lebih berhati-hati saat akan memberikan obat kepada anak.
Tidak hanya orangtua, Kemenkes dalam rilis persnya hari ini (19/10/2022) mengimbau juga kepada tenaga kesehatan, apoteker, dan produsen untuk bergerak bersama melakukan pencegahan.
Himbauan Kemenkes Kepada Seluruh Pihak
Kepada orangtua dan masyarakat yang disekitarnya terdapat balita, dihimbau oleh Kemenkes untuk mengenali gejala khas dari gangguan ginjal akut pada anak ini.
Kemenkes melalui Juru Bicara, dr. Syahril menyebutkan bahwa orangtua perlu berhati-hati jika anak mengalami penurunan jumlah air seni dan frekuensi buang air kecil dengan atau tanpa demam, diare, batuk pilek, mual, dan muntah untuk segera dibawa ke rumah sakit.
Berdasarkan data yang tercatat, maka dapat diketahui bahwa sebagian besar pasien anak yang mengalami gangguan gagal ginjal adalah anak usia balita, di bawah enam tahun.
Selain itu, sebagai langkah pencegahan, masyarakat diminta sementara waktu tidak mengonsumsi obat dalam bentuk cair atau sirup tanpa berkonsultasi dengan tenaga kesehatan, alternatifnya bisa menggunakan tablet, puyer, kapsul, suppositoria (anal), dan lainnya.
Dalam rilis persnya juga, dr. Syahril mengatakan sudah meminta tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan untuk sementara tidak meresepkan obat-obat dalam bentuk sirup atau cair hingga hasil penelusuran tuntas.
Sedangkan himbauan kepada para apoteker juga untuk tidak menjual obat bebas atau bebas terbatas dalam bentuk sirup atau cair kepada masyarakat sampai hasil penelusuran tuntas.
Baca Juga: Farmakolog; Paracetamol Aman untuk Anak, yang Toxic itu Pelarutnya
Alasan Dibalik Paracetamol Sirup Harus Hati-hati Digunakan Sementara Waktu
Belajar dari kasus gangguan ginjal pada anak di Gambia, Afrika yang disebut disebabkan oleh adanya kontaminasi dalam paracetamol sirup akibat ada kontaminan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG), Indonesia pun melakukan langkah pencegahan dini.
"Diminta membatasi peresepan, ini sebenarnya terkait dengan penemuan masalah gangguan ginjal yang sifatnya akut atau tiba-tiba yang terjadi sporadis di banyak provinsi," kata dr. Andi Khomeini Takdir, SpPD menjelaskan latar belakang kehati-hatian ini saat diwawancara oleh tim GridHEALTH.id pada Rabu (19/10/2022).
"Kontaminan itu aslinya obat itu tidak berisi itu (EG dan DEG) dan memang dari BPOM dan juga BPOMnya negara-negara lain sudah menetapkan, kalau bisa tidak ada dalam obat atau kalaupun ada itu minimal banget, jadi udah ada standarisasinya,
"Pihak BPOM kita dan Kemenkes kita juga sudah lama mengatur itu, tapi yang namanya kontaminan itu bisa saja terjadi di beberapa tempat yang harus diperiksa ya, misal di gudangnyakah, di apoteknya kah, atau di mananya, ini semualah item-item yang harus dievaluasi," ujar dr. Andi Khomeini Takdir, SpPD membahas mengenai evaluasi standarisasi.
"Daripada penyakit itu ada di mana-mana, khawatir terjadi meluas, mending dibatasi dulu, itu saya pikir ide awal pembatasan penggunaan obat," sambungnya.
Lebih lanjut dr. Andi Khomeini Takdir, SpPD menjelaskan alasan adanya kewaspadaan pada paracetamol sirup, "Kalau di anak kan banyaknya demam, jadi penggunaan paracetamol sirup paling banyak, paling luas ya, tapi kan sebenarnya yang diduga oleh Kemenkes itu bukan hanya paracetamol sirup."
"Karena persediaan paracetamol sirup itu butuh pelarut, jadi pelarutnya bukan hanya air, ada campuran lain, karena etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) ini dilarang, maka sebagian menggunakan propilen glikol, nah propilen glikol ini tetap masih ada EG dan DEG itu masih ada sedikit,
"Inilah yang diminta juga dievaluasi sebenarnya kadar batas amannya ada di mana sih," ucap dr. Andi Khomeini Takdir, SpPD.
BPOM sendiri melalui surat edarannya yang dirilis pada Rabu (19/10/2022) menyatakan obat-obat yang beredar di Gambia ini tidak ada di Indonesia, namun demikian sebagai langkah antisipasi maka BPOM melakukan pengawasan secara komprehensif baik dalam pre- maupun post-market.
Jadikan Sebagai Momentum Reevaluasi Semua Pihak
Baca Juga: Obat Sirup Jangan Dikonsumsi dan Tidak Diresepkan, Puyer Jadi Solusi?
Menurut dr. Andi Khomeini Takdir, SpPD, himbauan ini menjadi sebuah momentum untuk reevaluasi karena masalahnya ada banyak yang perlu dilihat.
"Jadi ini kan ada beberapa masalah, gangguan ginjalnya yang terjadi sporadis, dikhawatirkan meluas, kemudian yang kedua reevaluasi, jadi saya pikir ada dua, investigasi mengenai penyebab gangguan ginjalnya, yang kedua reevaluasi,"
"Kalau niatan mematuhi standar saya pikir semuanya sudah sepakat ya dan itu memang BPOM kita ketat, tapi apakah perlu dilakukan restandarisasi atau apa, nah itu kewenangan merekalah menentukan itu (BPOM)," kata dr. Andi Khomeini Takdir, SpPD.
Reevaluasi ini dilakukan untuk melihat kembali dari adanya peristiwa ini apakah standar yang ditetapkan sudah cukup, mengingat adanya efek jangka panjang dari kontaminasi EG dan DEG ini seperti gangguan ginjal hingga kerusakan pada otak, terlebih pada anak.
Selain itu, dr. Andi Khomeini Takdir, SpPD juga menyebutkan adanya kekhawatiran masih banyak kasus yang sebenarnya terjadi namun tidak terlapor karena kesulitan akses fasilitas kesehatan, inilah yang juga perlu diperhatikan menurutnya.
dr. Andi Khomeini Takdir, SpPD menuturkan peristiwa ini bisa menjadi reevaluasi bagi semua pihak, untuk masyarakat dan orangtua diharapkan bisa menanyakan secara langsung kepada pelayan kesehatan terdekat, karena kasus pada setiap orang berbeda-beda.
"Pada kondisi ini untuk obat-obat yang dijual bebas, tolong tanyakan ke dokter, perawat, bidan atau nakes terdekat, karena orang akan dievaluasi perlu obat atau tidak, kebutuhan per individu kan sangat bervariasi."
"Ini adalah waktu-waktu di mana orangtua, pasien, dan tenaga kesehatan justru diperlukan lebih dekat, lebih guyub diskusinya, jadi bukan panik tapi lebih akrab, untuk praktek medikasi (pengobatan sendiri) dikurang terlebih dahulu," sambung dr. Andi Khomeini Takdir, SpPD.
Menurutnya ini juga menjadi peristiwa bagi apoteker untuk mengedukasi masyarakat lebih dalam lagi.
Anak Demam? Jangan Langsung Berikan Obat, Ini 5 Langkah yang Bisa Dilakukan
Dengan adanya situasi ini, para orangtua pun diminta jika anak demam tidak selalu harus diberi obat, ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebelumnya.
Berikut ini beberapa langkah yang dianjurkan saat anak demam oleh dr. Andi Khomeini Takdir, SpPD:
Baca Juga: Daftar Obat penurun Panas yang Dilarang untuk Anak, Kapan Butuh Obat Demam?
1. Kenali pola demam
Pola demam ini berbeda-beda, mulai dari demam karena DBD, influenza, tipes, hingga demam karena gangguan ginjal akut.
2. Kenali kapan waktu terbaik pemberian obat
Berikan obat saat anak demam di atas 38-39 derajat celcius, biasanya dokter baru akan memberikan obat penurun demam. Jika tidak terlalu demam bisa dikompres dengan air hangat terlebih dahulu.
3. Cukupi kebutuhan cairan
Bisa jadi badan anak menjadi demam karena tidak mengeluarkan keringat dan dehidrasi.
4. Jika tidak kunjung turun, periksakan ke dokter
Jika sudah diberikan obat selama dua tiga hari dan tidak kunjung turun, masih ada keluhan dan masih sakit, maka di hari kedua orangtua sudah konsultasi dengan tenaga kesehatan terdekat. Ilmu kesehatan dasar untuk demam pada anak sudah diajarkan pada seluruh tenaga kesehatan.
5. Lakukan langkah promotif dan preventif
Terlebih saat ini tengah masuk musim pancaroba, anak-anak jadi lebih mudah demam, jadi upaya pencegahannya harus dikedepankan lagi, belajar untuk lebih sehat.
Perlu diingat, informasi ini akan terus berkembang sampai ada keputusan dan hasil penelusuran dari Kemenkes beserta seluruh pihak terkait, sehingga orangtua diminta untuk selalu mengikuti anjuran terkini dengan waspada tanpa perlu panik berlebih. (*)
Source | : | BPOM,Kemenkes RI,wawancara langsung dr. Andi Khomeini Takdir, SpPD |
Penulis | : | Vanessa Nathania |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar