GridHEALTH.id - Hipertensi masih menjadi penyakit tidak menular yang populer di kalangan masyarakat karena menyerang banyak orang di dunia.
Akan tetapi nyatanya masih banyak masyarakat yang belum benar-benar mengenali penyakit ini dengan baik, mengingat tekanan darah tinggi masih menjadi salah satu pemicu komplikasi yang menyebabkan kematian.
Tahukah kamu, bahwa hipertensi juga memiliki beragam jenis, simak ulasan berikut ini untuk mengetahui perbedaan hipertensi primer dan sekunder secara mendalam.
Hipertensi dikenal juga sebagai silent killer, sehingga seringkali seseorang terlambat untuk mendeteksinya. Salah satu cara terbaik adalah dengan rajin melakukan tes darah untuk mengetahui secara pasti kondisi seseorang.
Kondisi darurat hipertensi, yang disebut dengan hipertensi maligna dapat terjadi dan mengancam nyawa, ketika tekanan darah tiba-tiba naik di atas 180/120 mmHg dan disertai dengan gejala, seperti:
- Sakit dada
- Sakit kepala
- Sesak napas
- Pusing
- Perubahan visual
Secara umum, perbedaan keduanya dapat dikenali berdasarkan penyebabnya, di mana hipertensi primer adalah kondisi tekanan darah tinggi yang tidak dikenali penyebabnya, sedangkan hipertensi sekunder adalah penyakit tekanan darah tinggi yang dapat ditemukan penyebabnya.
Baca Juga: 5 Manfaat Air Rebusan dari 5 Daun yang Ampuh Cegah Hipertensi Semakin Tinggi
Untuk lebih memahami perbedaan keduanya, simak ulasan berikut ini secara lebih mendetail.
Hipertensi primer dikenal juga dengan hipertensi esensial, umumnya penderita tidak merasakan gejala, namun beberapa kondisi yang umum dirasakan adalah sakit kepala, kelelahan, pusing, hingga mimisan.
Meskipun tidak diketahui secara pasti penyebabnya, namun dokter percaya kondisi ini juga dipicu oleh faktor gaya hidup yang buruk, seperti merokok, konsumsi alkohol berlebih, obesitas, termasuk juga kurang olahraga.
Sudah banyak penelitian yang meneliti terkait jenis hipertensi ini, namun baru dapat disimpulkan bahwa penyakit ini merupakan kombinasi antara genetika, pola makan, gaya hidup, dan usia. Oleh karena itu, bagi penderita hipertensi yang tergolong dalam kondisi primer, diperlukan perubahan pola makan dan gaya hidup agar dapat menurunkan tekanan darah dan risiko komplikasi hipertensi.
Sebagai penyakit tekanan darah tinggi yang dikenali penyebabnya, biasanya hipertensi sekunder disebabkan oleh kelainan pada arteri yang memasok darah ke ginjal. Selain itu, bisa juga karena adanya sumbatan pada jalan napas saat seseorang tertidur, penyakit terkait kelenjar adrenal atau tumor di situ.
Bisa juga disebabkan oleh kelainan hormon, penyakit tiroid, hingga terlalu banyak konsumsi garam dan alkohol dalam asupan sehari-hari. Untuk beberapa obat yang perlu diperhatikan terkait kesehatan ginjal adalah obat bebas dengan kandungan ibuprofen dan pseudoephedrine.
Bagi penderita hipertensi dengan kondisi sekunder tidak perlu khawatir karena penyakit ini tergolong dapat dikendalikan.
Selain hipertensi primer dan sekunder, ada juga beberapa jenis hipertensi lainnya, seperti:
Kondisi saat tekanan darah sistolik di atas 140 mmHg dan tekanan darah diastolik di bawah 90 mmHg, paling sering terjadi pada orang tua, dengan usia rata-rata 60 tahun ke atas. Penyebabnya diduga karena pengerasan pembuluh darah seiring bertambahnya usia. Kondisi ini dapat berisiko menyebabkan stroke dan serangan jantung.
Hipertensi ganas adalah kondisi saat tekanan darah tinggi telah menyebabkan kerusakan organ, kondisi ini memerlukan perawatan cepat, dengan peningkatan tekanan darah lebih dari 180 mmHg untuk sistolik dan lebih dari 120 -130 mmHg untuk diastolik.
Kondisi tekanan darah tinggi lainnya adalah hipertensi resisten, dengan kondisi tekanan darah tinggi yang sulit dikendalikan dan membutuhkan banyak obat. Dikatakan memiliki kondisi ini saat tekanan darah tetap di atas target pengobatan, sehingga seseorang memerlukan beragam jenis obat penurun tekanan darah, termasuk diuretik. (*)
Baca Juga: Kaleidoskop Penyakit 2022, Penyakit Tidak Menular Tetap Menjadi Momok
Source | : | Healthline,everydayhealth |
Penulis | : | Vanessa Nathania |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar