GridHEALTH.id - Kondisi yang berkaitan dengan kesuburan menjadi masalah kesehatan yang dihadapi sebagian orang dewasa di dunia.
Hal itu dilihat berdasarkan data yang dimiliki oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Belum lama ini, mereka mengeluarkan pernyataan setidaknya bahwa 1 dari 6 orang mandul atau sekitar 17,5% dari total populasi orang dewasa di dunia.
"Dalam analisis kami, prevalensi global infertilitas seumur hidup adalah 17,5%, artinya 1 dari 6 orang mengalaminya," kata Dr. Gitau Mburu seorang peneliti kesuburan, dikutip dari CNN (3/4/2023).
Menurut Planned Parenthood, kemandulan atau infertilitas adalah saat seseorang mengalami kesulitan untuk hamil atau mempertahankannya.
Perlu diingat, bahwa kondisi ini dapat terjadi pada siapapun, tanpa terkecuali termasuk laki-laki.
Ada banyak kemungkinan yang menjadi penyebab kemandulan. Terkadang, tidak ada alasan yang pasti untuk menjelaskan kondisi ini, disebut sebagai infertilita tak bisa dijelaskan.
Kondisi kesehatan dan gaya hidup memengaruhi risiko untuk mengalaminya. Misalnya berusia di atas 35 bagi wanita, mengalami berat badan berlebih atau kurang, penggunaan alkohol berlebihan, merokok, hingga testis yang terlalu panas.
Ketidaksuburan yang tidak dapat dijelaskan, berisiko menimbulkan rasa frustasi. Tetapi, biasanya masih ada pilihan pengobatan yang bisa dicoba.
Lebih lanjut, dari data yang ada menurut Gitau Mburu, tidak ada perbedaan antara angka kemandulan di negara maju maupun berkembang.
"Prevalensi seumur hidup adalah 17,8% di negara berpenghasilan tinggi dan 16,5% di negara berpenghasilan rendah dan menengah, yang sekali lagi, bukanlah perbedaan yang substansial atau signifikan," jelasnya.
Baca Juga: Supaya Diabetes Tidak Menyebabkan Impoten dan Mandul, Lakukan Hal Ini
Meski begitu menurutnya, tetap ada perbedaan dari pengeluaran yang dilakukan untuk mendapatkan perawatan.
"Orang-orang di negara-negar termiskin menghabiskan proporsi yang jauh lebih besar dari pendapatan mereka untuk satu siklus IVF (fertilitasasi in vitro) atau perawatan kesuburan dibandingkan dengan negara-negara kaya," kata Mburu.
Pencegahan, diagnosis, dan pengobatan infertilitas seperti IVF, masih sulit diakses oleh banyak orang karena biayanya yang tinggi, stigma, dan ketersediaan terbatas.
Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, laporan ini bisa menjadi acuan untuk memperluas akses perawatan kesuburan.
"Sebagian besar orang yang terkena dampak menunjukkan perlunya memperluas akses ke perawatan kesuburan," kata Tedros Ghebreyesus dikutip dari situs resmi WHO.
"Dan memastikan masalah ini tidak lagi dikesampingkan dalam penelitian dan kebijakan kesehatan, sehingga cara yang aman, efektif, dan terjangkau untuk menjadi orangtua tersedia bagi mereka yang mencarinya," sambungnya.
Saat ini, perawatan kesuburan biayanya ditanggung sendiri. Orang-orang yang tinggal di negara berpenghasilan rendah, merasa kesulitan untuk mendapatkannya.
"Jutaan orang menghadapi bencana biaya perawatan kesehatan setelah mencari pengobatan untuk infertilitas, menjadikan masalah ini ekuitas utama dan terlalu sering, perangkap kemiskinan medis bagi mereka yang terkena dampaknya," jelas Dr Pascale Allotey, Direktur Kesehatan dan Penelitian Seksual dan Reproduksi WHO.
Negara diharapkan dapat meningkatkan akses masyarakat ke pengobatan untuk mengatasi permasalahan ini dan masalah baru yang muncul setelahnya.
"Kebijakan dan pembiayaan publik yang lebih baik dapat secara signifikan meningkatkan akses ke pengobatan dan sebagai hasilnya melindungi rumah tangga yang lebih miskin agar tidak jatuh ke dalam kemiskinan," pungkasnya.
Kemandulan dialami oleh beberapa orang dewasa secara global, akses ke pengobatan yang sulit menjadi salah satu alasan hal ini tak teratasi. (*)
Baca Juga: Efek Penyakit Crohn Pada Kesuburan Wanita, Simak Penjelasannya Disini!
Source | : | CNN,WHO,Planned Parenthood |
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Poetri Hanzani |
Komentar