GridHEALTH.id - Tingginya polusi udara menjadi perhatian dalam beberapa waktu belakangan ini.
Presiden Joko Widodo pun bahkan telah mengeluarkan instruksi sebagai upaya mengatasi kualitas udara yang buruk di wilayah Jabodetabek.
"Selama satu pekan terakhir kualitas udara di Jabodetabek sangat-sangat buruk, dan tanggal 13 Agustus 2023 kemarin indeks kualitas udara di DKI Jakarta di angka 156 dengan keterangan 'tidak sehat'," kata Jokowi dalam rapat terbatas dengan sejumlah menteri dan kepala daerah, Senin (14/8/2023).
Salah satu instruksi yang dianjurkan adalah untuk perkantoran menerapkan hybird working, yakni bekerja di rumah dan kantor.
"Jika diperlukan kita harus berani mendorong untuk banyak kantor melaksanakan hybrid working: work from office, work from home (WFH)," jelasnya.
Pada Jumat (18/8/2023) ini pun, kualitas udara Jakarta masih belum dalam keadaan yang baik dan tidak sehat bagi kelompok sensitif.
Mengutip Kompas (18/8/2023), berdasarkan data indeks kualitas udara (AQI US) tercatat di angka 110.
Kualitas udara yang kurang baik ini, diprediksi akan terjadi hingga 23 Agustus 2023 mendatang.
Sebagai informasi, konsentrasi polutan tertinggi dalam udara Jakarta hari ini PM 2.5, sekitar 7,8 kali nilai panduan kualitas udara tahunan WHO.
DR. dr. Feni Fitriani Taufik, Sp.P(K), pakar kesehatan paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengatakan, jika untuk mengatasi polusi, maka sumbernya yang perlu ditangani.
Sedangkan WFH menurutnya, dapat dijadikan sebagai opsi untuk melindungi masyarakat dari pajanan polusi udara.
Baca Juga: Selain Gara-gara Polusi, ISPA Mudah Menular dengan Cara Ini!
"Untuk mengurangi efek polusi udara, artinya mengurangi pajanan kepada masyarakat, WFH mungkin bisa jadi pertimbangan. Tapi, itu juga perlu perhitungan dan analisis lebih dalam," kata dokter Feni dalam konferensi pers virtual PDPI, Jumat (18/8/2023).
Karena seperti yang diketahui, paparan polusi udara dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan.
Dijelaskan, efek jangka pendek (akut) polusi udara antara lain iritasi mukosa (mata merah, hidung berair, dan bersin), iritasi saluran napas atas dan bawah, peningkatan ISPA, peningkatan asma dan PPOK, hingga peningkatan kunjungan IGD rumah sakit yang berkaitan dengan respirasi.
Sedangkan efek jangka panjangnya (kronik) berisiko menyebabkan penurunan fungsi paru, hiperreaktivitas bronkus, reaksi alergi, risiko asma, risiko PPOK, risiko penyakit jantung dan pembuluh darah, dan kanker.
Dalam kesempatan yang sama, dokter spesialis paru dr. Erlang Samoedro, Sp.P(K), FISR, menjelaskan berdasarkan data yang dikeluarkan oleh pemerintah, sektor transportasi menyumbang 40% dari sumber polusi udara.
Artinya, pemberlakuan WFH hanya tidak berpengaruh besar terhadap pengurangan polusi udara di Jakarta.
"Kalau semua orang bekerja dari rumah karena sektor transportasi enggak ada, itu hanya menurunkan 40 persen, (beberapa) persen (lainnya) masih ada industri, aktivitas dari masyarakat," jelasnya.
"Jadi bukan satu-satunya, kita WFH terus menyelesaikan masalah dari polusi udara," sambungnya.
Digaris bawahi, dibutuhkan upaya yang harus diperhatikan dalam penanganan polusi ini, bukan hanya dari sektor transportasi saja.
Perwakilan dari PDPI dr. Nuryunita Nainggolan, Sp.P(K), juga menjelaskan bahwa anjuran untuk WFH biasanya diberikan ketika kondisi polusi masuk dalam kategori sangat berbahaya.
"Misalnya sudah hazard, di atas 300-an. Jadi AQI-nya 300, kita memang akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk melakukan WFH, seperti kejadian di Pekanbaru saat kebakaran hutan," ungkapnya.
Di situasi seperti saat ini, masyarakat yang harus beraktivitas di luar ruangan, disarankan untuk memakai makser respirator atau bedah untuk melindungi diri dari paparan polusi. (*)
Baca Juga: Dokter Beberkan Bahaya Polusi Udara, Tak Hanya Bagi Paru Tapi Juga Jantung
Source | : | Kompas.com,webinar |
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Poetri Hanzani |
Komentar