GridHEALTH.id - Dampak stunting bersifat jangka panjang dan merugikan anak yang mengalaminya.
Tumbuh kembang anak yang terganggu akibat stunting, membuat anak yang terkena kondisi ini berisiko memiliki kemampuan kognitif yang rendah.
Tak hanya itu, ketika sudah dewasa pun anak stunting berisiko mengalami penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan hipertensi.
Karena efeknya yang dapat berlanjut hingga anak tumbuh dewasa, tindakan lebih lanjut perlu dilakukan untuk menangani masalah kesehatan ini.
Presiden Joko Widodo menargetkan, angka stunting mencapai 14% pada akhir tahun ini.
Kendati demikian, kasus stunting di Indonesia masih terbilang tinggi. Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes), prevalensi stunting di Indonesia pada 2022 sekitar 21,6%.
Hasil dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tersebut, masih jauh di atas ambang batas yang ditentukan oleh WHO, yakni 20%.
Pada awal Mei, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin juga mengatakan bahwa angka stunting di Indonesia baru turun 0,1% dari 21,6% pada 2022 menjadi 21,5% pada 2023.
Dilansir dari laman Sehat Negeriku, jika ingin menurunkan angka stunting, maka perlu mengatasi empat masalah gizi yang menjadi pemicu kondisi ini.
Adapun empat masalah gizi tersebut yakni weight faltering, underweight, gizi kurang, dan gizi buruk.
"Kalau mau menurunkan stunting maka harus menurunkan masalah gizi sebelumnya yaitu weight faltering, undeweight, gizi kurang, dan gizi buruk. Kalau kasus keempat masalah gizi tersebut tidak turun, maka stunting akan susah turunnya," jelas Dirjen Kesehatan Masyarakat dr. Maria Endang Sumiwi.
Baca Juga: 4 Langkah Penanganan Stunting dari BKKBN, Orang Tua Juga Dilibatkan
Weight faltering atau berat badan tidak naik sesuai standar, menjadi awal mula seorang anak mengalami gangguan pertumbuhan.
Menurutnya, apabila anak-anak yang mengalami weight faltering dibiarkan, maka bisa mengalami berat badan rendah atau underweight.
Kondisi tersebut, seiring waktu mengakibatkan anak mengalami wasting, yakni gizi kurang, di mana anak tampak sangat kurus.
Anak yang mengalami wasting, umumnya mempunyai berat badan rendah dibandingkan tinggi badannya dan lingkar lengan atas (LILA) kecil.
Gizi buruk terjadi akibat pola makan yang tidak memadai, dari segi kualitas dan kuantitas ataupun penyakit infeksi yang dialaminya.
Diketahui, gizi buruk yang tidak ditangani membuat anak berisiko 3 kali lebih tinggi menjadi stunting dan anak stunting beirisiko 1,5 kali lebih tinggi mengalami wasting.
Selain itu, masih kurang optimalnya skrining anak yang berisiko stunting di tengah masyarakat, juga menjadi penyebab stunting cukup tinggi.
Misalnya kader posyandu atau bidan yang mengukur berat badan anak, ketika anak masih memakai jaket.
Karena itu, Kemenkes berupaya mengoptimalkan akurasi data stunting dengan melakukan pelatihan sumber daya manusia (SDM).
Sehingga petugas pengukuran antropometri, yakni bidan dan kader posyandu, dapat mengukur secara akurat.
Pemenuhan alat antropometri sesuai standar juga akan diusahakan di seluruh posyandu dan fasilitas kesehatan di Indonesia, agar angka stunting akurat dan sesuai yang ditargetkan. (*)
Baca Juga: Mengenali Gejala Stunting Menurut Kemenkes dan Cara Menanggulanginya
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Poetri Hanzani |
Komentar