GridHEALTH.id - Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Pusat Jantung Nasional Harapan Kita sepanjang 2013-2017 menunjukkan bahwa hanya 2000 kasus PJB setiap tahunnya yang mendapatkan intervensi baik secara bedah maupun non-bedah, padahal setidaknya ada 20,000 pasien PJB setiap tahunnya yang membutuhkan penanganan.
Baca Juga: Penanganan Penyakit Jantung Bawaan Perlu Hati-hati Karena Alasan Ini
Mengutip data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2014 menemukan 7 hingga 8 bayi per 1000 kelahiran hidup dilahirkan dengan penyakit jantung bawaan (PJB).
PJB sendiri merupakan kelainan bawaan yang paling sering terjadi di antara kelainan-kelainan bawaan jenis lain.
Kasus PJB pada bayi baru lahir yang terlambat melakukan deteksi dini penyakit jantung bawaan menjadi penyebab utama kematian bayi baru lahir.
Sementara data Pusat Jantung Nasional Harapan Kita 2019 menyebut bahwa daftar antrean operasi jantung pada bayi dan anak di saat ini mencapai 1.100 pasien, dengan kemampuan rumah sakit untuk melakukan operasi sebanyak 1.200 operasi setiap tahunnya.
Namun semakin canggihnya teknologi saat ini, PJB sudah bisa deteksi dini penyakit jantung bawaan sejak janin masih berada di dalam kandungan, yaitu melalui fetal echocardiography.
Baca Juga: Penyakit Jantung Bawaan Ternyata Bisa Dideteksi Sejak Kehamilan
Teknologi yang baru dikenal di dunia kesehatan pada 10 tahun terakhir ini dapat menangkap kelainan pada jantung janin menggunakan USG, meskipun untuk saat ini, dokter ahli yang bisa melakukan fetal echocardiography masih terbatas jumlahnya.
Pemeriksaan USG juga bisa menangkap beberapa gejala yang menjadi indikasi penyakit jantung bawaan, seperti janin berukuran cenderung kecil dan bibir sumbing.
Baca Juga: Cara Mengempiskan Perut Buncit Karena Obesitas, Cukup Konsumsi Minuman Ini Sebelum Tidur
Setelah kelahiran, PJB dapat dikenali lewat beberapa gejala seperti berat badan yang sulit naik, napas yang cepat saat tertidur dan anak mudah lelah. Untuk menghindari terjadinya dampak negatif jangka panjang PJB, maka deteksi dini sangat dianjurkan.
Berdasarkan jenisnya, PJB dapat dibagi menjadi dua, yaitu PJB sederhana dan PJB kompleks.
PJB sederhana terjadi jika bayi mengalami 1 lesi (keadaan abnormal) pada jantung. Sedangkan PJB kompleks adalah penyakit jantung dengan lebih dari 1 lesi dan komplikasi lainnya.
Untuk penanganan PJB sederhana setelah deteksi dini penyakit jantung bawaan, beberapa kota besar lainnya seperti Medan, Bandung, dan Makassar sudah memiliki fasilitas untuk menanganinya.
"Namun, penanganan PJB kompleks saat ini hanya dapat dilakukan di dua lokasi, yaitu Jakarta dan Surabaya saja," papar dr. Asik Surya, Kepala Subdirektorat Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah, Direktorat Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan.
Baca Juga: Studi: Obesitas Dapat Menurunkan Ketajaman Indera Penciuman Seseorang
Penanganan PJB dapat dibagi menjadi dua, yaitu dengan operasi jantung dan intervensi non-bedah melalui kateterisasi jantung.
Tergantung dengan tingkat kegawatannya, operasi jantung pada bayi dapat dilakukan sejak bayi berusia 2 minggu.
Baca Juga: Penderita Obesitas Perlu Diet Karena Ini 6 Fakta Bahayanya Tubuh Menyimpan Banyak Lemak
Baik intervensi bedah maupun non-bedah membutuhkan tenaga ahli dengan tim terlatih yang saat ini jumlahnya masih sangat sedikit, sehingga terkadang berakibat pada terlambatnya penanganan PJB kritis.
PJB saat ini belum diketahui pasti penyebabnya. Namun, setelah deteksi dini penyakit jantung bawaan, penyakit ini memiliki beberapa faktor risiko, antara lain adalah ibu dengan diabetes yang melakukan pengobatan dengan suntik insulin, atau ibu dengan epilepsi yang mengonsumsi obat antikejang.
Baca Juga: Kandungan Gas Air Mata Bikin Pedih di Mata, Begini Cara Mengatasinya
Pada bayi, PJB dapat memiliki dampak jangka panjang jika tidak ditangani dengan benar, mulai dari cacat, stunting, hingga kelumpuhan. (*)