Find Us On Social Media :

Saran Ahli Agar Indonesia Sukses Hadapi Corona: 'Buang Rapid Test'!

Ilustrasi rapid test

GridHEALTH.id - Sampai saat rapid test masih menjadi metode skrining awal yang dipilih pemerintah Indonesia dalam mendeteksi keberadaan virus corona.

Padahal tak sedikit pihak yang tidak setuju bahkan menentang metode skrining awal ini.

Seperti Kepala Pusat Laboratorium Diagnostok dan Riset Penyakit Infeksi Universitas Andalas Andani Eka Putra yang mengatakan belum ada data independen yang menjelaskan tentang validitas rapid test.

Bahkan ia dengan tegas menyatakan jika sebuah provinsi di Indonesia ingin sukses menekan laju Covid-19 harus melakukan tes PCR yang masif, bukan rapid test.

Menurut Andani, Provinsi Sumatera Barat bisa menjadi percontohan keberhasilan tes PCR masif, dimana laboratorium Universitas Andalas bisa memeriksa hingga 3.000 spesimen dalam satu hari.

Baca Juga: Terungkap! Peneliti Temukan Bukti Bayi Dapat Terinfeksi Virus Corona dalam Rahim

Baca Juga: Dicari Sel-T, Rantai yang Hilang Pada Kekebalan Virus Corona

Hal itu ia sampaikan saat jadi pembicara dalam Podcast Energi DI's Way milik Dahlan Iskan, Sabtu (18/07/2020) kemarin.

"Tanggal 25 Maret [2020] saya diminta rekomendasi oleh Pak Gubernur [Irwan Prayitno] terkait rapid test, saya bilang tidak merekomendasikan rapid test dan pak Gubernur setuju. Argumennya, tidak ada data independen tentang validitas rapid tes," kata Andani.

Diketahui rapid test sendiri merupakan salah satu metode skrining awal yang banyak digunakan saat ini untuk mendeteksi virus corona dalam tubuh.

Baca Juga: Takut pada Virus Corona? Ini 3 Kelemahannya, Agar Terhindar Dari Covid-19

Dikutip dari The Guardian, rapid test bekerja dengan mendeteksi antibodi immunoglobulin melalui darah.

Meski hasil rapid test dapat keluar hanya dalam waktu 15-20 menit dan bisa dilakukan dimana saja sehingga memudahkan tracing, tes Covid-19 ini memiliki kelemahan false negative (positif atau negatif palsu).

Baca Juga: Tak Disangka Tingkat Kematian Kasus Covid-19 Menurun, Kini Negara India Terendah di Dunia

Lebih lanjut, Andani menjelaskan rapid test tidak bisa mendeteksi Covid-19 pada satu minggu pertama dan tingkat akurasinya hanya 20%.

Alhasil jika ada 10 orang melakukan test di minggu pertama hasilnya pasti negatif, inilah yang justru berbahaya.

Meski rapid test merupakan deteksi antibodi, tetapi bisa saja protein virus ini mirip dengan antibodi yang diproduksi manusia.

Baca Juga: Dibantu Sahabat Patungan Biaya Rumah Sakit sampai Rp 30 Juta, Polo Srimulat Kini Masih Terbaring Lemah Akibat Sakit Paru-paru

Sehingga bisa menyebabkan reaksi silang sehingga hasilnya bias dan hasilnya positif palsu ataupun negatif palsu (false negative).

Sementara untuk minggu kedua, tingkat akurasinya terbilang bisa saja yakni hanya 60%, yang berarti jika ada 10 orang positif hanya 6 yang terdeteksi positif dan 4 sisanya lolos.

Kondisi ini tentu akan berbahaya dimana jika yang negatif palsu dibiarkan lolos dapat menjadi sumber penularan di masyarakat.

Baca Juga: Dibantu Sahabat Patungan Biaya Rumah Sakit sampai Rp 30 Juta, Polo Srimulat Kini Masih Terbaring Lemah Akibat Sakit Paru-paru

Oleh karena itu, di masa pandemi Covid-19 yang penularannya semakin liar dibutuhkan diagnosis yang lebih akurat agar penanganannya tepat.

"Kalau satu Pemerintah Daerah mau berhasil jalan yang instan adalah PCR dan buang rapid test. Karena ada risiko lolos tadi, rapid test idealnya 2x periksa tapi kalau sudah sekali mana mau mereka tes lagi?" kata Andani.

Menurutnya saat ini labotorium yang ia kelola telah menerima spesimen dari daerah lain.

Baca Juga: Hasil Investigasi AS dan Sajikan Bukti, Virus Corona Hasil Kebocoran Laboratorium di Wuhan 

Untuk mengapresiasi kerja berat ini Andani bahkan memberikan honor pribadinya untuk para pekerja laboratoriumnya, yang bisa menyelesaikan lebih dari 3.000 spesimen per hari.

Andani mengatakan hasil analisis PCR hanya membutuhkan waktu 1,5 jam, yang membutuhkan waktu lama adalah isolasi RNA, bagian inilah yang membutuhkan banyak sumber daya manusia.

"Kalau (laboratorium) cuma periksa 100-200 mending tutup saja lah, karena harus ada komitmen laboratorium dibangun untuk masyarakat. Saya bilang pada Pak Doni (Kepala BNPB) kalau cuma 100-200 spesimen mendingan merger saja," tegasnya.(*)

Baca Juga: Komentari Foto Jenazah Pasien Covid-19: 'Kenapa Fotografer Diperbolehkan Foto, Sementara Keluarga Pasien Tidak?', Anji Didesak Buat Pemintaan Maaf

 #berantasstunting #hadapicorona