GridHEALTH.id - Sejak kasus virus corona yang pertama muncul di Indonesia diumumkan pemerintah sampai saat ini, setidaknya sudah ada 86 kematian dokter karena positif covid-19 dan bertatus sebagai pasien dalam pengawasan (PDP).
Data tersebut berdasarkan catatan PB IDI sepanjang Maret hingga Agustus 2020. "Ini catatan dokter yang menjadi korban sepanjang pandemi Covid-19 di Indonesia , Maret-Agustus," kata Humas PB IDI, Halik Malik, dikutip dari Tribun News (21/08/2020).Malik mengatakan, saat ini pandemi Covid-19 di tanah air belum bisa dibilang terkendali dengan baik. Ia berharap tidak ada lagi korban jiwa atau kerugian lain yang ditimbulkan akibat pandemi Covid-19.
"Jumlah kasus Covid-19 msh tinggi dan terus meningkat menunjukkan bahwa pandemi ini belum terkendali. Semoga tidak bertambah lagi korban jiwa dan kerugian lainnya akibat pandemi yang berkepanjangan dan tak kunjung terkendali," tuturnya.
IDI pun mendorong agar pemerintah lebih serius dan konsisten dalam upaya pemulihan kesehatan masyarakat. Malik menegaskan keselamatan warga mesti menjadi prioritas negara.
"Karena itu berbagai strategi penanganan pandemi yang sudah terbukti berhasil agar bisa dijalankan dengann baik di setiap wilayah, baik dalam pengendalian penularan Covid-19 maupun dalam perbaikan sistem kesehatan dan ketahanan nasional," kata Malik.
Baca Juga: Atasi Stres Akibat Covid-19, Orang Jepang Malah Ramai-ramai Sejenak Berbaring di Peti Mati
Penting diketahui, tingkat kematian tenaga kesehatan akibat infeksi virus corona di Indonesia disebut-sebut menjadi angka kematian tertinggi di di antara negara Asia Tenggara, bahkan di dunia.
Hal itu sebagaimana disampaikan oleh Wakil Ketua Umum PB IDI (Ikatan Dokter Indonesia), dr Adib Khumaidi, seperti dilansir dari ABC News (11/05/2020).
"Secara persentase, di dunia kita termasuk yang paling tinggi, karena angka negara-negara lain hanya sekitar 1%. Apalagi di ASEAN, kita paling tinggi," ucap dr Adib Khumaidi.
Seperti dilaporkan sebelumnya, pada awal bulan Mei 2020, tercatat 55 tenaga kesehatan Indonesia yang dinyatakan meninggal dunia akibat virus corona (Covid-19).
Menurut Ketua Departemen Manajemen Rumah Sakit, Universitas Hasanuddin, Irwandy, tingkat kematian dokter dan tenaga kesehatan Indonesia saat itu mencapai 6,5%.
Hal tersebut mengartikan, setiap 100 kematian ada sekitar enam hingga tujuh tenaga kesehatan yang meninggal dunia.
Senada dengan hal itu, berdasarkan data yang disajikan Katadata, jika kematian pada tenaga kesehatan akibat Covid-19 dibandingkan dengan tingkat kematian tenaga medis di Amerika Serikat dan Inggris hanya di bawah 1%, dengan rincian 0,16% untuk AS dan 0,5% di Inggris.
Baca Juga: Virus Corona Terdeteksi Hingga Sperma Pasien, Potensi Penularan Lewat Hubungan Intim?
Baca Juga: Banyak yang Tak Patuh Menerapkan Protokol Kesehatan Covid-19, Ini Kata Psikolog
Padahal kedua negara tersebut memiliki jumlah kasus terkonfirmasi positif virus corona yang lebih tinggi jumlahnya dari Indonesia, yakni 2,5 juta kasus virus corona di Amerika Serikat dan lebih dari 300 ribu kasus di Inggris.
Sedangkan menurut data Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), sampai tanggal 23 Juni 2020, secara nasional ada 30 perawat yang meninggal dunia, 129 perawat positif Covid-19, 717 berstatus ODP dan 64 dalam status PDP.
Dengan demikian, total angka tenaga kesehatan Indonesia yang meninggal dunia sampai Selasa (23/06/2020) adalah 68 orang, seperti dikutip dari ABC.
Meski begitu, dari jumlah kematian dokter dan tenaga kesehatan lain itu masih belum dikonfirmasi kebenarannya, sebab pihak IDI maupun PPNI masih menelusuri riwayat kasus-kasus tersebut.
Atas kondisi ini, Dekan Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta, dr Prijo Sidipratomo, mengatakan posisi dokter yang sedang mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS) yang menangani pademi Covid-19 sangatlah berisiko terpapar.
"PPDS itu adalah barang yang paling rentan dalam sistem rumah sakit pendidikan. Mereka bekerja di luar jam kerja yang normal, dengan segala konsekuensi mulai tata tertib sekolah dan hukuman senior," kata dr Prijo dikutip dari GridHEALTH.id (20/05/2020).
"Kalau mereka sampai bertumbangan, analisa saya mungkin soal APD yang kurang lengkap, atau kalaupun APD-nya lengkap, ya dia burnt-out [kelelahan]," tambahnya. Bahkan, dr Prijo juga menyayangkan soal sistem PPDS di Indonesia.
Baca Juga: Selama Hamil, Wanita Jangan Tergoda Minum 10 Jenis Obat Ini, Taruhannya Kesehatan Janin!
Baca Juga: Hasil Penelitian: Pare Efektif Jadi Obat Diabetes dan Hentikan Sel Kanker Payudara
"Peserta PPDS ini akan dipakai untuk bagian dari jaringan kesehatan, tapi mereka harus bayar sendiri. Pemerintah yang memakai [jasanya] tidak menggaji dia, ataupun kalau digaji sangat kecil," jelasnya.(*)