Find Us On Social Media :

Inilah Dokter Indonesia yang Menangani Pandemi Pada 1910 di Hindia Belanda Tanpa APD

Dokter Indonesia yang Menangani Pandemi Pada 1910 di Hindia Belanda.

GridHEALTH.id - Sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia, dalam masa perjuangan kemerdekaan, Indonesia yang dahulu bernama Hindia Belanda pernah mengalami pandemi yang juga mematikan.

Malah Letjen TNI Doni Monardo dalam berbagai acara saat menjabat sebagai Kepala BNPB yang juga Ketua Satgas Covid-19, mengajak banyak pihak menyusuri lorong waktu. Jauh ke belakang, ke zaman kolonial.

Doni Monardo lantas menegaskan, “Kalau ada yang mengatakan Covid ini adalah yang pertama terjadi di muka bumi, saya berani mengatakan, itu salah!”

Ketahuilah pada 1918 – 1919, wabah sejenis virus corona melanda Hindia Belanda.

Pernyataan Doni diperkuat literatur Yang Terlupakan: Pandemi 1918 di Hindia Belanda, yang ditulis sejarawan pandemi Tb. Arie Rukmantara dan tim pada 2009.

Buku menunjukkan fakta sejarah bahwa pandemi adalah peristiwa berulang yang sudah tercatat sejak tahun 1700. Dalam 100 tahun terakhir, interval antarpandemi flu berkisar antara 10 dan 50 tahun sekali.

Kejadian masa lampau seperti yang digambarkan tadi, jauh lebih mematikan, serta merenggut nyawa lebih besar.

Tak kurang dari 13,3 persen dari populasi penduduk ketika itu, meninggal karena wabah yang dinamakan Flu Spanyol.

Jumlah penduduk Hindia Belanda tahun-tahun itu, sekitar 35 juta jiwa.

Dari jumlah itu, 13,3 persen meninggal karena Flu Spanyol alias Black Death. Itu artinya, lebih dari 4,6 juta nyawa meregang. “Karena itu saya berani mengatakan, kondisi waktu itu jauh lebih buruk,” tandas Doni, dikutip dari bnpb.go.id (10/08/2020).

Pandemi Black Dath

Baca Juga: Dosis Ketiga Belum Tercapai, Booster ke 2 Belum Akan Diberikan Kepada Masyarakat

Black Death adalah penyakit Pes atau sampar, penyakit menular pada manusia yang disebabkan oleh enterobakteriaYersiniapestis, yang disebarkan oleh hewan pengerat (terutama tikus).

Wabah ini berasal dari tikus yang terinfeksi basil pes dan disebarkan melalui kutu tikus yang mengginggit manusia.

Pes di Hindia (Indonesia) semakin mewabah di wilayah Malang dan sekitarnya tahun 1911.

Wilayah Malang dan sekitarnya yang sejuk semakin membuat wabah ini bertahan lama, hingga membunuh lebih dari 15.000 orang.

Saat itu, dr. Tjipto Mongunkusumo sudah lulus dari Stovia (sekolah tinggi kedokteran yang didirikan Belanda, sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), sudah ditempatkan di beberapa daerah seperti Batavia, Amuntai, Banjarmasin, dan Demak.

Tapi pada tahun 1908, dr. Tjipto memutuskan untuk resign dan pindah ke Solo untuk membuka praktik sendiri.

Mendengar ada wabah Pes di Malang, dr. Tjipto meminta kepada pemerintah untuk menugaskannya ke Malang.

Saat itu, dokter Eropa di Batavia lumayan banyak, tapi tidak ada yang mau turun tangan membantu rakyat karena mereka teringat dengan black death yang pernah terjadi di Eropa 500 tahun silam.

Ironisnya, dokter-dokter Eropa ini menghina dokter Jawa dengan menyebut mereka sebagai pengecut. Padahal, mereka sendiri tidak punya perikemanusiaan untuk menolong korban wabah pes saat itu.

Pemerintah yang abai dengan kondisi rakyat, dokter-dokter yang enggan turun tangan, rakyat yang minim pengetahuan, ditambah dengan hinaan dokter Eropa terhadap dokter Jawa semakin membakar semangat dr. Cipto untuk menolong rakyat.

Kondisi ini membuat dr. Tjipto semakin yakin bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dari penjajah untuk rakyat terjajah.

Baca Juga: 3 Minuman Herbal Penurun Gula Darah, Salah Satunya Daun Sage

Setibanya di Malang, dr. Tjipto langsung menyisir pelosok-pelosok desa yang terkena wabah pes.

Saat itu dr. Tjipto turun tanpa menggunakan masker, apalagi APD seperti yang kita lihat saat ini pada nakes yang menangani pasien Covid-19. Padahal, seperti yang kita tahu, wabah pes ini bisa menyerang paru-paru.

Selama menangani wabah, pemerintah Hindia-Belanda meminta 20 orang dokter untuk membantu menolong rakyat.

Dari 20 orang itu, hanya 2 yang menyatakan kesediaan. 2 dokter itu adalah mahasiswa Indonesia.

Jadi saat itu koban dari wabag pes tidak sebanding dengan jumlah tenaga medis saat itu. Apalagi, alat-alat kesehatan saat itu pasti tidak secanggih saat ini. Ketersediaan APD juga sangat langka. Mereka yang berani turun untuk membantu rakyat ini adalah yang berhasil memenuhi panggilan jiwa sebagai tenaga medis dan punya rasa kemanusiaan yang tinggi.

dr. Tjipto Mendapat Penghargaan dari Belanda

Atas peran dr. Tjipto dalam melawan wabah ini, beliau dianugerahi bintang penghargaan Ridder in de Orde van Oranje Nassau dari Ratu Wilhelmina.

Tapi, akhirnya penghargaan itu dikembalikan ke pemerintah hindia belanda karena permohonannya untuk ikut membasmi wabah pes di kota Solo ditolak oleh pemerintah.

Empat tahun setelah wabah pes masuk ke Indonesia, dr. Tjipto mengemukakan uraian ilmiah tentang penyakit pes dalam sebuah pidato. Mulai dari apa itu pes, sejarahnya, macam-macam pes, bagaimana bakteri ini menjangkit manusia, dan cara memberantasnya.

Dalam pidato itu juga, dr. Tjipto mengatakan, “Adalah tidak bertanggungjawab untuk membiarkan beribu-ribu orang jatuh menjadi korban pes dengan harapan wabah itu akhirnya bosan meminta korban orang Jawa. Tidak! Kita tidak boleh lengah!” Dikutip dari ruangguru.com (22/03/2021).

Melalui uraian itu, dr. Tjipto mengobarkan semangat nasionalisme. Pidato yang ia tulis dalam bahasa Belanda itu juga membuktikan kepada bangsa Belanda bahwa masyarakat pribumi mampu menyamai intelektual kulit putih, dan juga bangsa kulit berwarna bukanlah bangsa rendahan. Dan juga membuktikan kalau dokter Jawa tidak pengecut.

Baca Juga: Lansia Suspek Cacar Monyet di Cilegon, Keluhkan 4 Gejala Ini

Akhirnya pada 1915, pemerintah Hindia-Belanda membentuk lembaga khusus untuk memberantas wabah pes.

Lembaga ini bernama Dienst der Pestbestrijding. Tindakan pemerintah kolonial ini bisa dibilang terlambat, setelah 5 tahun wabah terjadi dan memakan puluhan ribu korban baru dibentuk lembaga khusus ini.

Lembaga ini bertugas untuk melakukan kegiatan preventif yang bersifat pencegahan dengan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait penyebaran dan gejala pes.

Selain itu juga lembaga ini melakukan tindakan kuratif berupa pengobatan dan perawatan kepada korban yang positif pes yang dilanjutkan dengan proses pemulihan dan penyembuhan.

Setelah itu, mulai dibangun banyak rumah sakit sipil atau rumah sakit milik pemerintah. Upaya pembersihan dan pembangunan rumah rakyat juga dilakukan agar tikus tidak bersarang di sana.

Setelah itu, pada tahun 1918 dikabarkan bahwa kasus pes semakin menurun. Pada tahun 1920-1930an, kabar kasus baru pes sudah jarang bahkan tidak diberitakan lagi di surat kabar.

Kemudian pada tahun 1934 vaksin pes yang aman bagi manusia berhasil ditemukan oleh seorang dokter bernama Louis “Lou” Otten. Nama dokter Otten ini diabadikan sebagai nama salah satu jalan di Kota Bandung.(*)

Baca Juga: Belum Pernah Terdengar Jumlah Korban dan Cara Penanganannya, Korea Utara Umumkan Menang Melawan Covid-19