Kebijakan ini dianggap efektif dalam mengatasi PTM, sebagaimana di 108 negara yang telah berhasil mengurangi konsumsi minuman manis dengan menerapkan kebijakan ini.
Selain itu, pendekatan lain seperti pemberdayaan masyarakat untuk memilih gaya hidup sehat dan menyediakan akses yang lebih mudah ke makanan sehat juga dapat membantu mengurangi tingkat obesitas.
Dikutip dari UNICEF konsumsi minuman berpemanis telah meningkat secara global, terutama di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
Di Indonesia, antara tahun 2013-2021, konsumsi per kapita tahunan beberapa jenis minuman berpemanis, termasuk minuman ringan berkarbonasi dan non-karbonasi, minuman olahraga, dan minuman energi, telah meningkat sebesar 25 persen (dari 31 hingga 39 liter per kapita/tahun).
Menurut Riskesdas, pada tahun 2018, dua dari tiga anak dan remaja usia 5-19 tahun (66 persen) dan orang dewasa usia 20 tahun ke atas (64 persen) mengonsumsi minuman berpemanis sekali atau lebih setiap hari.
Pemberian pajak minuman berpemanis dinilai sebagai kebijakan baik oleh WHO dan juga direkomendasikan oleh UNICEF sebagai cara efektif untuk mencegah kelebihan berat badan dan penyakit, bersamaan dengan langkah-langkah seperti label gizi di depan kemasan dan pembatasan pemasaran makanan tidak sehat.
Sebuah penelitan tentang dampak pajak minuman berpemanis di Indonesia telah menemukan hasil positif dalam hal penurunan kelebihan berat badan, obesitas, diabetes tipe 2, stroke, dan penyakit jantung iskemik.
Dengan kerja sama dari pemerintah, lembaga kesehatan, sektor swasta, dan masyarakat, epidemi obesitas dapat dicegah untuk menciptakan dunia yang lebih sehat bagi semua orang.
Langkah-langkah yang diambil sekarang akan memiliki dampak besar pada kesehatan masyarakat di masa depan.
Diharapkan kebijakan ini dapat mengubah perilaku konsumsi masyarakat, memperbaiki kesehatan, dan mendorong industri untuk menghasilkan produk yang lebih sehat.
Baca Juga: Makanan dan Minuman Manis di Mana-mana, Ini Tips Kurangi Asupan Gula