GridHEALTH.id - Obesitas telah menjadi permasalahan kesehatan dunia yang memprihatinkan dan menjadi ancaman serius.
Fenomena ini tidak hanya mengancam kesehatan orang per orang, tetapi juga mengganggu perkembangan sosial dan ekonomi.
Menurut penelitian terbaru yang dipublikasikan oleh The Lancet, diperkirakan bahwa pada tahun 2030, lebih dari satu miliar orang dewasa di seluruh dunia akan menderita obesitas.
Hal ini menunjukkan bahwa obesitas telah mencapai status epidemi dan merupakan masalah yang membutuhkan perhatian serius.
Dulu, obesitas sering dikaitkan dengan negara-negara berpendapatan tinggi, tetapi kini keadaannya sudah berubah.
Obesitas semakin meluas di negara-negara berpendapatan menengah dan rendah, bahkan di kalangan kelompok sosial ekonomi yang lebih rendah.
Ini menunjukkan bahwa obesitas bukan lagi masalah eksklusif bagi orang-orang dengan pendapatan tinggi, tetapi sudah menjadi masalah dunia yang perlu ditangani serius.
Tentu saja, obesitas bukan hanya sekadar masalah kelebihan berat badan. Dampaknya sangat luas dan serius terhadap kesejahteraan dan kualitas hidup seseorang.
Pada tahun 2019 saja, obesitas menyebabkan sekitar 5 juta kematian yang oleh berbagai penyakit seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker, gangguan neurologis, penyakit pernapasan kronis, dan gangguan pencernaan.
Orang yang menderita obesitas juga memiliki risiko empat kali lipat lebih tinggi untuk menderita COVID-19 yang parah.
Akan tetapi, kegemukan dan obesitas sebagian besar dapat dicegah karena kita dapat mengurangi risiko obesitas dengan mengatur pola makan dan gaya hidup.
Baca Juga: Manfaat Rebusan Kacang Merah, Makanan Sehat untuk Mengatasi Obesitas
Mengurangi asupan energi dari lemak dan gula, meningkatkan konsumsi buah-buahan, sayuran, serta makanan kaya serat, serta berolahraga secara teratur, merupakan langkah-langkah yang dapat membantu menjaga berat badan yang sehat.
Namun, untuk mengatasi obesitas diperlukan tindakan bersama dari semua pihak.
Ini termasuk intervensi kebijakan yang bertujuan memengaruhi pola makan dan gaya hidup serta mengatasi penyebab yang mendukung peningkatan obesitas.
Di Indonesia, obesitas merupakan faktor risiko utama Penyakit Tidak Menular (PTM), di mana peningkatannya berhubungan dengan peningkatan penyakit tidak menular.
Salah satu penyebabnya adalah Indonesia memiliki tingkat konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan yang tinggi di Asia Tenggara, dengan tingkat konsumsi per individu sebesar 20,23 liter, dan terus mengalami peningkatan dalam 20 tahun terakhir.
Data dari The Global Burden of Disease 2019 and Injuries Collaborators 2020 menunjukkan bahwa PTM menyebabkan 80% kasus kematian di Indonesia.
Pemerintah berupaya mengatasi masalah obesitas dan PTM dengan pembatasan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) melalui kebijakan cukai.
Kebijakan ini diperlukan karena konsumsi minuman berpemanis menyebabkan diabetes, yang merupakan penyebab utama kematian di Indonesia.
Penelitian menunjukkan bahwa setiap peningkatan 1 porsi minuman berpemanis per hari berhubungan dengan peningkatan berat badan pada orang dewasa.
Konsumsi berlebihan minuman berpemanis juga meningkatkan risiko diabetes, stroke, dan serangan jantung.
Kebijakan cukai MBDK didasari oleh dampak negatif konsumsi berlebihan minuman berpemanis, baik dalam hal kesehatan maupun beban finansial sistem kesehatan.
Baca Juga: Obesitas Tingkatkan Risiko Penyakit Serius, Bisakah Diatasi Secara Alami?
Kebijakan ini dianggap efektif dalam mengatasi PTM, sebagaimana di 108 negara yang telah berhasil mengurangi konsumsi minuman manis dengan menerapkan kebijakan ini.
Selain itu, pendekatan lain seperti pemberdayaan masyarakat untuk memilih gaya hidup sehat dan menyediakan akses yang lebih mudah ke makanan sehat juga dapat membantu mengurangi tingkat obesitas.
Dikutip dari UNICEF konsumsi minuman berpemanis telah meningkat secara global, terutama di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
Di Indonesia, antara tahun 2013-2021, konsumsi per kapita tahunan beberapa jenis minuman berpemanis, termasuk minuman ringan berkarbonasi dan non-karbonasi, minuman olahraga, dan minuman energi, telah meningkat sebesar 25 persen (dari 31 hingga 39 liter per kapita/tahun).
Menurut Riskesdas, pada tahun 2018, dua dari tiga anak dan remaja usia 5-19 tahun (66 persen) dan orang dewasa usia 20 tahun ke atas (64 persen) mengonsumsi minuman berpemanis sekali atau lebih setiap hari.
Pemberian pajak minuman berpemanis dinilai sebagai kebijakan baik oleh WHO dan juga direkomendasikan oleh UNICEF sebagai cara efektif untuk mencegah kelebihan berat badan dan penyakit, bersamaan dengan langkah-langkah seperti label gizi di depan kemasan dan pembatasan pemasaran makanan tidak sehat.
Sebuah penelitan tentang dampak pajak minuman berpemanis di Indonesia telah menemukan hasil positif dalam hal penurunan kelebihan berat badan, obesitas, diabetes tipe 2, stroke, dan penyakit jantung iskemik.
Dengan kerja sama dari pemerintah, lembaga kesehatan, sektor swasta, dan masyarakat, epidemi obesitas dapat dicegah untuk menciptakan dunia yang lebih sehat bagi semua orang.
Langkah-langkah yang diambil sekarang akan memiliki dampak besar pada kesehatan masyarakat di masa depan.
Diharapkan kebijakan ini dapat mengubah perilaku konsumsi masyarakat, memperbaiki kesehatan, dan mendorong industri untuk menghasilkan produk yang lebih sehat.
Baca Juga: Makanan dan Minuman Manis di Mana-mana, Ini Tips Kurangi Asupan Gula