GridHEALTH.id - Batu ginjal termasuk penyakit yang cukup sering terjadi.
Diketahui, 6 per 1000 penduduk atau 1.499.400 penduduk di Indonesia mengalami penyakit ini.
Sebagian besar kasusnya ditemukan pada kelompok usia 30-60 tahun, 15% pada pria dan 10% pada wanita.
Dokter spesialis urologi Siloam ASRI Prof. dr. Nur Rasyid, SpU-K, mengatakan batu ginjal secara umum terbentuk karena kepekatan urin dalam ginjal.
Salah satu faktor yang memicu terjadinya batu ginjal adalah kebiasaan kurang minum.
Karena ketika kurang minum, konsentrasi mineral dan produk limbah pada urin lebih tinggi, sehingga terbentuk kristal yang mempengaruhi fungsi ginjal.
Selain karena dehidrasi, risiko batu ginjal juga dipengaruhi oleh pola makan sehari-hari dan berat badan yang tidak ideal.
"Mengonsumsi makanan yang tingkat protein, natrium (garam) dan gula berlebihan dapat meningkatkan faktor risiko beberapa jenis batu ginjal," kata profesor Nur Rasyid dalam media briefing di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (5/6/2024).
"Berikutnya, mereka yang obesitas, memiliki penyakit pencernaan, pernah melakukan prosedur pembedahan sebelumnya, atau seirng mengonsumsi suplemen dan obat-obatan tertentu, juga memperbesar risiko terjadinya batu ginjal ini," sambungnya.
Ketika seseorang terkena batu ginjal, biasanya tidak akan merasakan gejala atau keluhan apapun.
Karena alasan itulah, ukuran batu yang ada di ginjal bisa jadi membesar dan pada akhirnya mengganggu aktivitas sehari-hari.
Baca Juga: Pantangan Makanan Penderita Batu Ginjal, Ini 7 yang Harus Dihindari untuk Cegah Komplikasi
"Gejala kalau batu ginjal nggak menyumbat, nggak ada keluhan. Kadang-kadang waktu batunya sudah besar, karena kegesek, (muncul gejala) kencingnya merah. Atau hanya pegal-pegal, dipikir capek jadi hanya dipijat saja," ujarnya.
Padahal jika dilakukan pemeriksaan urin, bisa didapati adanya kristal pembentuk batu ginjal lebih dini.
Bagaimana Mengobati Batu Ginjal?
Lebih lanjut, profesor Nur Rasyid menjelaskan, ada beberapa tindakan yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Bila ukuran batunya masih kecil, maka akan diberikan obat agar dapat keluar melalui urin.
Adapula Extra-corporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL), yang melibatkan penggunaan ultrasound untuk menentukan letak batu ginjal.
Terbaru, batu ginjal dapat ditangani menggunakan metode Retrograde Intrarenal Surgery (RIRS), metode minimal invasif atau minim sayatan, untuk batu ginjal berukuran besar dan sulit dijangkau.
"Pada dasarnya RIRS adalah prosedur penghancur batu ginjal dengan menggunakan laser. Sebelum dilakukan prosedur RIRS, pasien harus menjalani pemeriksaan laboratorium terlebih dahulu, dilanjutkan dengan CT scan," kata profesor Nur Rasyid.
Ia melanjutkan, "Pemeriksaan CT scan saat ini sudah mudah dijangkau dan menjadi standar pemeriksaan batu saluran kemih. Selain mengetahui letak dan ukuran batu, informasi tambahan penting adalah kekerasan batu dengan satuan HU (Hounsefield Unit)."
Secara umum, setiap pasien batu ginjal dapat menjalani tindakan RIRS, kecuali bila tidak bisa bius umum seperti pengidap gangguan paru berat.
Bius umum dilakukan kepada pasien RIRS untuk mengatur gerak ginjal, saat seseorang bernapas. Dokter anestesi akan membantu mengatur berapa jauh gerakan ginjal. Lama waktu tindakan ini dilakukan terbilang singkat, maksimal 2 jam, untuk menghindari gejala komplikasi seperti sepsis atau pengaruh panas dari laser yang berlebihan.
Bila dibutuhkan tindakan lanjutan, dapat dilakukan 1 minggu kemudian atau ditunda paling lama 2 bulan setelah prosedur. (*)
Baca Juga: 6 Makanan dan Minuman Penyebab Batu Ginjal, Konsumsinya Perlu Dibatasi