Find Us On Social Media :

Mengklarifikasi Kabar Miring yang Beredar Akan Perjanjian Pandemi (Pandemic Treaty)

Pandemic treaty tidak dimaksudkan untuk hilangnya otoritas kesehatan sebuah negara.

Sekretariat WHO hanya membantu dalam proses negosiasi, sementara kesepakatan akhir menjadi tanggung jawab negara-negara anggota WHO.

Pasal 24 ayat 2 rancangan Perjanjian Pandemi WHO telah menegaskan bahwa tidak ada satupun ketentuan dalam Perjanjian Pandemi WHO yang dapat ditafsirkan memberikan wewenang kepada Sekretariat WHO.

Termasuk di dalamnya adalah Direktur Jenderal WHO yang tidak punya weenang untuk mengarahkan, memerintahkan, mengubah atau menentukan kebijakan nasional dan/atau undang-undang domestik, jika diperlukan atau kebijakan negara mana pun atau untuk mengamanatkan atau dengan cara lain memaksakan persyaratan apapun agar Negara Anggota mengambil tindakan tertentu, seperti melarang atau menerima pelancong, menerapkan mandat vaksinasi atau tindakan terapeutik atau diagnostik atau menerapkan lockdown.

Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE, FISR, yang juga menjadi delegasi RI untuk pertemuan INB, menegaskan, tidak perlu khawatir terhadap kedaulatan negara selama perundingan Pandemic Treaty. Prof. Tjandra meyakini, para diplomat Indonesia memegang teguh kedaulatan negara.

"Saya percaya kemampuan diplomat kita untuk melakukan negosiasi dengan sangat baik. Di satu sisi, membuat dunia ini aman, jangan sampai ada pandemi lagi atau kalau ada pandemi lagi kita sudah siap menghadapinya, tapi di sisi lain, kedaulatan negara kita itu juga sangat terjaga," tegasnya dikutip dari Kemenkes.

Proses ini melibatkan partisipasi luas dari berbagai pihak dan didesain untuk menghormati kedaulatan dan kepentingan nasional masing-masing negara.

Baca Juga: Ancaman Kesehatan dari Perubahan Iklim Jadi Fokus WHO di Program Kerja 2025-2028