Find Us On Social Media :

Mengklarifikasi Kabar Miring yang Beredar Akan Perjanjian Pandemi (Pandemic Treaty)

Pandemic treaty tidak dimaksudkan untuk hilangnya otoritas kesehatan sebuah negara.

GridHEALTH.id - Sejumlah narasi menyesatkan berkembang terkait Perjanjian Pandemi (Pandemic Treaty), yang sedang dibahas di forum World Health Organization (WHO).

Narasi-narasi kabar miring ini mencakup klaim tentang gangguan terhadap kedaulatan negara, proses negosiasi tertutup, larangan penggunaan obat tradisional di Indonesia, dan otoritas absolut bagi WHO.

Namun, klaim-klaim hoax ini perlu diklarifikasi untuk memahami apa yang terjadi sebenarnya.

Klaim-klaim yang beredar perlu dinilai dengan cermat agar tidak menyebarkan informasi yang menyesatkan atau tidak akurat tentang tujuan dan dampak dari Perjanjian Pandemi ini.

Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D., selaku delegasi RI untuk perundingan Pandemic Treaty atau Perjanjian Pandemi, meluruskan kesalahpahaman tersebut.

Prof. Wiku menjelaskan, negosiasi Perjanjian Pandemi masih berlangsung dan belum mencapai kata sepakat.

"Pandemic Treaty sedang berlangsung pembahasan dan negosiasinya antara negara anggota WHO. Semua negara anggota WHO menginginkan adanya Pandemic Treaty yang dapat mencegah dan melindungi seluruh masyarakat dunia dari ancaman pandemi," jelas Prof. Wiku seperti dikutip dari Situs Kemenkes.

1. Gangguan Kedaulatan Negara

Salah satu narasi menyebut bahwa Perjanjian Pandemi mengancam kedaulatan negara. Prof. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, delegasi RI untuk perundingan tersebut, menegaskan bahwa negosiasi masih berlangsung.

Pembahasan dilakukan melalui Badan Perundingan Antarpemerintah (Intergovernmental Negotiating Body), di mana setiap negara anggota WHO berhak menyuarakan pandangannya.

Tujuan perjanjian ini adalah untuk memperkuat respons global terhadap pandemi, sambil menghormati kedaulatan masing-masing negara.

Baca Juga: Apa Itu Pandemic Treaty, Diusulkan Sejak 2021 dan Masih Menemui Jalan Buntu Kesepakatan

2. Proses Negosiasi Tertutup

Ada klaim bahwa proses negosiasi Perjanjian Pandemi dilakukan secara tertutup tanpa partisipasi publik.

Namun, kenyataannya, negosiasi melibatkan 194 negara anggota WHO dan berbagai pemangku kepentingan, termasuk badan PBB dan organisasi non-pemerintah.

WHO juga telah mengadakan dengar pendapat publik untuk memperoleh masukan tambahan.

3. Larangan Penggunaan Obat Tradisional di Indonesia

Isu lain yang disoroti adalah dugaan bahwa Perjanjian Pandemi akan mengakibatkan larangan penggunaan obat tradisional di Indonesia.

Prof. Wiku dan Kementerian Kesehatan RI menegaskan bahwa tidak ada pasal dalam perjanjian yang mengatur larangan semacam itu.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan pun tidak mencantumkan denda sebesar Rp500 juta terhadap penggunaan obat herbal, seperti yang diklaim oleh beberapa narasi.

4. Potensi Pemberian Otoritas Absolut kepada WHO

Terakhir, ada klaim bahwa Perjanjian Pandemi akan memberikan WHO otoritas absolut yang mengikat secara hukum atas seluruh pemerintahan di dunia.

Prof. Wiku menjelaskan bahwa peran WHO adalah mendukung negara-negara anggotanya dalam mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.

Baca Juga: Bagaimana Posisi Indonesia Menanggapi Pandemic Treaty dan Peran WHO?

Sekretariat WHO hanya membantu dalam proses negosiasi, sementara kesepakatan akhir menjadi tanggung jawab negara-negara anggota WHO.

Pasal 24 ayat 2 rancangan Perjanjian Pandemi WHO telah menegaskan bahwa tidak ada satupun ketentuan dalam Perjanjian Pandemi WHO yang dapat ditafsirkan memberikan wewenang kepada Sekretariat WHO.

Termasuk di dalamnya adalah Direktur Jenderal WHO yang tidak punya weenang untuk mengarahkan, memerintahkan, mengubah atau menentukan kebijakan nasional dan/atau undang-undang domestik, jika diperlukan atau kebijakan negara mana pun atau untuk mengamanatkan atau dengan cara lain memaksakan persyaratan apapun agar Negara Anggota mengambil tindakan tertentu, seperti melarang atau menerima pelancong, menerapkan mandat vaksinasi atau tindakan terapeutik atau diagnostik atau menerapkan lockdown.

Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), MARS, DTM&H, DTCE, FISR, yang juga menjadi delegasi RI untuk pertemuan INB, menegaskan, tidak perlu khawatir terhadap kedaulatan negara selama perundingan Pandemic Treaty. Prof. Tjandra meyakini, para diplomat Indonesia memegang teguh kedaulatan negara.

"Saya percaya kemampuan diplomat kita untuk melakukan negosiasi dengan sangat baik. Di satu sisi, membuat dunia ini aman, jangan sampai ada pandemi lagi atau kalau ada pandemi lagi kita sudah siap menghadapinya, tapi di sisi lain, kedaulatan negara kita itu juga sangat terjaga," tegasnya dikutip dari Kemenkes.

Proses ini melibatkan partisipasi luas dari berbagai pihak dan didesain untuk menghormati kedaulatan dan kepentingan nasional masing-masing negara.

Baca Juga: Ancaman Kesehatan dari Perubahan Iklim Jadi Fokus WHO di Program Kerja 2025-2028