Find Us On Social Media :

Masih Banyak yang Salah Sangka, Pakar Ungkap BPA Tidak Terbukti Menyebabkan Gangguan Kesehatan

BPA tidak terbukti menyebabkan gangguan kesehatan

GridHEALTH.idBPA (Bisphenol-A) banyak ditemukan pada barang-barang di sekitar kita dan sering berkontak dengan kita.

Tidak hanya pada kemasan pangan, melainkan juga pada barang-barang lain misalnya thermal paper yang digunakan pada kertas ATM/struk belanja, CD, peralatan olahraga, hingga peralatan medis seperti selang kateter dan tambalan gigi.

Akhir-akhir ini, BPA sering dituding sebagai salah satu risiko permasalahan kesehatan.

Ditengarai, BPA bersifat sebagai endocrine disruptor, yang bisa menyerupai hormon estrogen, memicu pubertas dini pada anak perempuan, dan berefek pada kelenjar prostat.

Namun, benarkah demikian? Berikut ini penjelasan selengkapnya.

Mengenal BPA

Dalam Diskusi Pakar Bersama Jurnalis Kesehatan: Forum NGOBRAS di Jakarta, Prof. Dr. Nugraha Edhi Suyatma, S.T.P., DEA, Guru Besar dalam bidang Ilmu Rekayasa Proses Pengemasan Pangan, Teknologi Pangan IPB, yang juga ahli polimer, menjelaskan bahwa BPA adalah bahan baku pembuatan jenis plastik polikarbonat dan epoksi.

“BPA diproses dengan bahan lain untuk menjadi polikarbonat. Kalau sudah jadi polikarbonat, dia menjadi material yang kuat. Kandungan BPA-nya sudah hampir tidak ada lagi, dan yang tersisa pun tidak mudah luruh,” papar Prof. Nugraha.

Lebih lanjut Prof. Nugraha menjelaskan, sisa BPA yang ada pada kemasan polikarbonat atau epoksi baru dapat berpotensi bermigrasi hanya pada kondisi ekstrim.

“Polikarbonat itu sangat tahan panas; melting point-nya (titik leleh) 200 derajat Celcius. Proses distribusi pun misalnya terkena panas dan sinar matahari selama perjalanan, tidak akan lebih dari 50 derajat. Jadi, risiko migrasi sangat kecil sebenarnya,” papar Prof. Nugraha.

Isu bahaya BPA bagi kesehatan tidak terbukti secara ilmiah

Dijelaskan oleh Dr. dr. Laurentius Aswin Pramono Sp.PD-KEMD, pedoman dunia kedokteran dan kesehatan yaitu evidence-based medicine (kedokteran berbasis bukti).

Tingkat tertinggi dalam pembuktian ilmiah yaitu studi meta-analisis.

Baca Juga: Kaleidoskop 2022, Disaat Pandemi Muncul Pro Kontra Kebijakan Pelabelan BPA

“Studi meta-analisis mengompilasi berbagai hasil penelitian lalu dianalisis lagi untuk melihat bagaimana hasil-hasil studi yang ada,” terang ahli endokrin-metabolik ini.

Ia melanjutkan, sintesis data harus berbasis penelitian pada manusia, bukan di laboratorium pada hewan coba.

“BPA diberikan secara sengaja dalam dosis yang sangat besar sehingga menimbulkan risiko kesehatan pada hewan coba,” imbuh Dr. dr. Aswin.

Dalam hal ini, BPA tidak masuk ke guideline manapun sama sekali.

“Belum ada konsensus bahwa BPA menyebabkan diabetes atau kanker. Belum ada sama sekali. Belum ada bukti (penelitian ilmiah) pada manusia. Yang ada hanya penelitian di lab dengan hewan coba,” tandasnya.

Hal senada disampaikan oleh Prof. Nugraha. Menurutnya, studi-studi terkait BPA belum konsisten dan belum cukup kuat.

Ia melanjutkan, penelitian di Makassar menemukan, uji migrasi dari BPA pada kemasan pangan berkisar antara 0,0001 – 0,0009 mg/kg, jauh dari batasan BPOM 0,05 mg/kg.

“Selain itu, temuan yang dilakukan oleh peneliti ITB mengemukakan bahwa BPA tidak terdeteksi pada galon dari empat merek yang banyak dikonsumsi di Indonesia. Hasilnya tidak terdeteksi melalui alat yang paling sensitif sekalipun,” paparnya.

Adapun TDI (tolerable daily intake) yang ditetapkan yaitu 4 mg/kg BB.

Jadi, misal berat badan (BB) 75 kg, maka batas asupan harian BPA maksimal yaitu (4 x 75) = 300 mg. Sekalipun air minum terpapar oleh BPA, kadarnya hanya 1/1.000 bagian.

“Butuh 10.000 liter air dalam sekali minum untuk bisa mendapatkan kadar BPA yang melebihi ambang batas aman. Itu hal yang mustahil,” ujar Dr. dr. Aswin.

Baca Juga: Regulasi Pelabelan BPA pada Galon Guna Ulang, Pakar: Masih Terlalu Dini

Fakta lainnya, tubuh kita akan memetabolisme berbagai zat kimia termasuk BPA.

BPA yang secara tidak sengaja masuk ke dalam tubuh, akan dibuang dan tidak terakumulasi di dalam tubuh.

“Hati atau liver bisa memecah rantai BPA, dan dibuang melalui saluran pencernaan lewat BAB. Ada sebagian yang masuk ke ginjal, dan dibuang melalui urin,” jelas Dr. dr. Aswin.

Aturan batas aman BPA di berbagai negara

EMA (European Medicines Agency) dan BfR (Federal Institute for Risk Assessment - Jerman) misalnya, memiliki nilai referensi yang lebih tinggi, yaitu 50 mikrogram/kg berat badan per hari. Adapun BfR menetapkan batas 0,2 mikrogram kg BB/hari.

Sebagai informasi, 1 mikrogram = 1.000 nanogram. Maka bila dikonversi ke nanogram, TDI di Jerman yaitu 200 nanogram/kg BB/hari.

Di Indonesia, batas aman toleransi atau TDI BPA belum diatur, namun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menetapkan batas migrasi maksimum BPA 0,05 mg/kg. Ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan.

Ditegaskan oleh Dr. dr. Aswin, isu bahwa BPA menyebabkan diabetes, kolesterol tinggi, kanker, infertilitas dan lain-lain, adalah mitos yang menyesatkan.

“Tidak ada satu pun dari penyakit ini yang disebabkan oleh BPA. Penyebab diabetes bukanlah BPA, melainkan penurunan produksi insulin akibat gaya hidup yang kurang baik, dan usia,” terang Dr. dr. Aswin.

Demikian pula dengan kanker, infertilitas, obesitas, dan berbagai penyakit degeneratif lainnya.

Dr. dr. Aswin maupun Prof. Nugraha mengingatkan, jangan mudah termakan isu yang beredar dan tidak bisa dipercaya kebenarannya.

“Jangan khawatir berlebihan dengan isu-isu seperti itu. Banyak sekali bahan kimia yang lebih berisiko, misalnya asap rokok, sedangkan BPA belum masuk kategori karsinogen. Bijaklah memilih informasi yang benar. Jangan sampai terlalu cemas sampai tidak mau minum air. Hiduplah yang baik-baik saja,” pungkas Dr. dr. Aswin. (*)

Baca Juga: Benarkah BPA pada Galon Isi Ulang Tidak Aman Untuk Tubuh? Ini 4 Syarat Bahan Baku Disebut Tidak Berbahaya Menurut Ahli Polimer