GridHEALTH.id - Banjir bandang yang menerjang Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua pada Sabtu (16/3/2019) malam tentu menyisakan duka mendalam bagi rakyat Indonesia.
Hingga Minggu (17/3/2019) sore, jumlah korban sudah mencapai 63 orang dan disinyalir akan terus bertambah.
Sebanyak 17 jenazah telah berhasil teridentifikasi di Rumah Sakit Bhayangkara, Kota Jayapura, dan 11 di antaranya sudah diserahkan kepada keluarga, ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Papua Kombes Pol AM Kamal.
Baca Juga : Stunting Jadi Topik Hangat di Debat Cawapres 2019, Apa Sih Stunting?
"Proses identifikasi akan dilanjutkan sampai jam 8 malam. Setelah itu besok akan dilanjutkan kembali sampai semua jenazah teridentifikasi," katanya, Minggu sore.
Sedangkan sebanyak 69 orang belum ditemukan setelah dilaporkan oleh keluarga yang ikut menjadi korban bencana banjir bandang, pada hari yang sama.
Di sisi lain, jumlah 4.273 korban selamat harus mengungsi karena tempat tinggal mereka rusak atau hilang terbawa arus.
"Ada empat titik pengungsian, tapi pengungsi terbanyak ada di Kantor Bupati Jayapura," sambung Kombes Pol AM Kamal.
Dia mengemukakan, para pengungsi berasal dari sembil kawasan yang terdampak banjir, yaitu BTN Gajah Mada (1.450 orang), BTN Bintang Timur (600 orang), Doyo Baru (200 orang), Kemiri (200 orang), Panti Jompo (23 orang), HIS (300 orang), Gunung Merah (200 orang), kediaman bupati (1.000 orang), dan SIL (300 orang).
Hingga kini bantuan logistik, pakaian, dan obat-obatan mulai berdatangan, baik dari pemerintah, BUMN, perusahaan swasta dan organisasi kerukunan masyarakat.
Kamal menyebutkan, para pengungsi masih membutuhkan bantuan, terutama makanan dan pakaian.
Korban yang mengungsi tentu sebisa mungkin harus menjaga kesehatan mereka agar tidak terserang berbagai penyakit.
Buruknya kondisi lingkungan pascabanjir meningkatkan risiko kesehatan masyarakat, khususnya anak-anak dan orang usia lanjut.
Daya tahan tubuh korban juga bisa turun akibat pola hidup dan stres yang memicu munculnya berbagai penyakit fisi hingga psikis.
Selama banjir, banyak sumber air bersih masyarakat, khususnya dari sumur dangkal, terendam dan tercemar.
Sehingga penyediaan air bersih sangat dibutuhkan mereka.
”Air bersih tak hanya diperlukan untuk minum, tetapi juga untuk membersihkan diri, seperti mandi dan cuci tangan,” kata Guru Besar Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Azrul Azwar, melansir laman yang sam.
Penggunaan air yang tercemar bisa memicu diare, muntaber, dan gatal-gatal.
Di pengungsian, penyakit ini mudah dan cepat menular akibat lingkungan pengungsian yang serba terbatas.
Penyakit lain yang rentan menyerang adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Baca Juga : Anak-anak Jepang Adalah yang Tersehat di Dunia, Ini Alasannya Menurut Penelitian!
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama mengatakan, ISPA dapat disebabkan oleh virus, bakteri, atau mikroba.
Gejalanya berupa batuk dan demam. ISPA berat dapat disertai sesak napas dan nyeri dada.
”Berkumpulnya banyak orang, seperti di pengungsian, membuat ISPA mudah menular,” ujarnya.
Penyakit leptospirosis yang ditularkan bakteri leptospira juga bisa muncul.
Di Indonesia, penyakit ini umumnya ditularkan melalui kotoran dan kencing tikus yang bercampur air banjir. Bakteri leptospira bisa masuk ke tubuh manusia melalui luka.
”Hindari bermain air banjir, khususnya jika ada luka. Jika harus beraktivitas di banjir, gunakan pelindung,” kata Tjandra.
Potensi penyakit lain yang bisa muncul dan menular adalah demam berdarah, demam tifoid akibat makanan yang tak bersih, serta gangguan infeksi kulit.
Baca Juga : Sering Diabaikan Ternyata Kuku Dapat Menandakan Kondisi Kesehatan
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Rosiana Chozanah |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar