GridHEALTH.id - Sejak 2015, Sistem kesehatan Yaman telah hancur oleh konflik.
Peristiwa itu meninggalkan jutaan orang tanpa akses ke perawatan kesehatan yang layak, air bersih atau sanitasi yang krusial bagi kehidupan masyarakatnya.
Keruntuhan sistem kesehatan juga membuat negara Yaman dinilai kian mustahil untuk menghadapi pandemi Virus Corona yangsemakin mewabah.
Pasalnya, negara timur tengah yang telah bertahun-tahun dilanda perang tersebut, tidak lagi dapat merawat penduduknya yang terserang penyakit termasuk Covid-19.
Selain karena terbatasnya rumah sakit dan tenaga kesehatan, penduduk Yaman masih tergantung kepada bantuan dari luar untuk dapat bertahan hidup.
Baca Juga: Jumlah Kematian Covid-19 Dekati Jakarta, IDI Jatim Minta PSBB Surabaya Tak Dilanjutkan, Lo Kok?
Seperti yang dilansirTribunWow.com dari bbc.com, Minggu (21/6/2020), dr. Shalal Hasel merupakan satu dari para pejabat Departemen Pengawasan Epidemiologi yang bekerja di Lahj, Yaman.
Ia mengatakan bahwa tenaga medis bisanya berfokus pada penanganan wabah kolera, namun Hasel saat ini harus bekerja keras sepanjang waktu untuk memastikan Yaman telah siap dengan datangnya pandemi Covid-19.
Baca Juga: Gunung Merapi Erupsi Sebanyak 2 Kali, Ini Bahayanya Menghirup Abu Vulkanik
"Anda akan tahu tentang situasi kesehatan yang memburuk di Yaman, terutama setelah konflik dan perang. Rumah sakit di sini terbatas dan tidak diperlengkapi untuk menerima kasus Virus Corona," tutur Hasel.
"Kami kekurangan APD (alat pelindung diri) yang memadai. Tim tanggap cepat telah menerima pelatihan dalam manajemen kasus Covid-19 tetapi mereka tidak memiliki perlindungan pribadi. WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) harus mengisi kekosongan ini," lanjutnya.
WHO telah membantu menyediakan dan mempekerjakan 37 staf pada pusat isolasi di Yaman untuk pasien Covid-19.
Beberapa di antaranya adalah fasilitas kesehatan yang ada yang telah dirancang ulang.
Sedangkan yang lainnya adalah bangunan tua yang diubah menjadi rumah sakit darurat.
Meski telah mendapat bantuan tersebut, Hasel merasa ini belumlah memadai, sebab masih banyak kekurangan yang belum tercukupi.
Baca Juga: Pasien Covid-19 Diberikan Izin 'Refreshing', Ganjar Pranowo;Mungkin Saja Mereka Bosan
"Kami tidak memiliki cukup alat pengukur suhu infra merah, ada kekurangan alat swab untuk diagnosis dan bahkan tim gugus tugas di daerah itu tidak memiliki ambulans untuk digunakan untuk setiap kasus yang dicurigai," papar Hasel.
Di sisi lain, Mohamed Alshamaa dari Save The Children khawatir tentang nasib petugas medis yang bekerja di rumah sakit di Yaman yang hanya bisa beroperasi separuh akibat pertempuran.
"Kita dapat melihat ketakutan di wajah tidak hanya dokter tetapi juga manajemen. Kami memiliki beberapa dokter di satu atau dua rumah sakit yang telah mengirim pasien pernapasan normal karena khawatir mereka adalah kasus Virus Corona karena mereka tidak memiliki peralatan pelindung yang tepat," ujar Alshamaa.
Yaman saat ini hanya memiliki 208 ventilator, 417 lainnya seharusnya dalam perjalanan.
Ini masih jauh dari ribuan yang dikumpulkan atau diproduksi oleh negara-negara maju.
Baca Juga: Dari Hampir Seribu Tenaga Medis, Hanya 2 Dokter Negatif Covid-19 di RS Universitas Hasanuddin
Sementara itu, Tamuna Sabadze, dari Komite Penyelamatan Internasional, mengatakan bahwa setidaknya 18.000 tempat tidur akan dibutuhkan untuk perawatan intensif.
"Dan bahkan jika mendapatkan ventilator, kita tidak dapat menjalankannya jika tidak memiliki daya. Seringkali tidak ada generator atau, jika ada, tidak ada bahan bakar untuk menjalankannya," terang Sabadze.(*)
Baca Juga: Satu Keluarga Tenaga Medis Meninggal Dunia, Diduga Terpapar Covid-19 dari Ibu dan Ayah
#berantasstunting
#hadapicorona
Artikel ini telah tayang di TribunWow dengan judul Cerita Petugas Medis di Yaman, Tidak Memiliki APD hingga Tak Bisa Operasikan Alat Ventilator
Source | : | TribunWow |
Penulis | : | Anjar Saputra |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar