GridHEALTH.id - Pandemi global karena virus, bukan baru kali ini saja terjadi.
Pandemi global Covid-19, yang pertama kali terdeteksi di Wuhan, China, bukan pandemi flu biasa. Juga bukan pandemi virus pertama yang melanda dunia.
Jadi manusia di dunia sudah pernah belajar dan pernah sukses menghadapi pandemi virus.
Baca Juga: PSBB Total, Keluar Masuk Jakarta Dibatasi Harus Pakai SIKM Lagi? Ini Penjelasan dari Kemenhub
Bahkan manusia sudah sukses melenyapkan virus ganas, yaitu virus cacar air.
Lalu bagaiamana dengan kapan berkahirnya pandemi global Covid-19?
Memang, saat ini ilmuan dan banyak ahli sedang ngebut melakukan riset dan uji untuk melahirkan vaksin Covid-19.
Malah ada beberapa negara sudah masuk dalam uji klinis tahap akhir.
Setelah vaksin Covid-19 ditemukan, juga obatnya ditemukan, akankah serta merta pandemo Covid-19 usai?
Ternyata jawabannya menurut ahli tidak.
Jika melihat sejarah, pandemi flu pada 1918, saat itu tidak ada vaksin, hingga akhirnya pandemi berakhir.
Untuk kita ketahui, sekitar 100 tahun lalu, satu jenis baru influenza menulari hampir sepertiga penduduk dunia.
Namun dalam waktu tiga tahun, ancaman flu yang mematikan tersebut kemudian hilang.
Hal tersebut terjadi di saat layanan kesehatan modern belum tersedia dan pemahaman mengenai virus belum lagi dikuaasai seperti saat ini.
Baca Juga: Cara Mengetahui Kondisi Paru-paru Sehat atau Tidak, Ini Kata Ahli
Menurut pakar masalah virus Kirsty Short dari University Queensland di Brisbanem, diperlukan tiga kondisi bisa menyebabkan sebuah virus menjadi pandemi.
1. Virus itu harus menyebabkan penyakit pada manusia.
2. Virus itu mudah menyebar dengan cepat.
3. Manusia tidak memiliki kekebalan sebelumnya terhadap virus tersebut.
"Sebagai contoh, kita hidup bersama dengan MERS sekarang ini," kata Dr Short merujuk kepada sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS), sejenis virus corona yang masih memiliki hubungan dengan virus penyebab Covid-19.
Tapi, lanjutnya, "MERS tidak menyebabkan pandemi, karena virus tersebut tidaklah menyebar dengan cepat dari orang ke orang lainnya."
Baca Juga: 2 Artis Cantik Ini Mengalami Nasib Berbeda Karena Keranjingan Sepeda
"Sebagai bandingannya, virus corona musiman, mungkin bisa jadi pandemi, namun menjadi seperti flu biasa, yang kemudian diabaikan karena tubuh dengan secara perlahan membentuk kekebalan."
Dengan melihat tiga kondisi untuk menyebabkan pandemi, apa yang dialami kita saat ini dalam menghadapi pandemi Covid-19 tidak banyak yang bisa dilakukan untuk menghentikan penularan virus corona, karena faktor biologi virus tersebut dan keberadaan kita sebagai manusia.
Dengan menerapkan jaga jarak fisik degan oranglain, dan penggunaan masker, itu adalah upaya sederhana untuk mempersulit virus menginfeksi manusia, alias memutus mata rantai penularan.
Baca Juga: Jakarta Terapkan PSBB Total, Anies Baswedan Sebut Penerima Bansos Kali Ini Sudah Terdata
Faktor penting untuk menghentikan penularan virus menjadi pandemi sebenarnya adalah kekebalan tubuh.
"Herd immunity [kekebalan massal] hanya bisa dicapai dengan vaksinasi atau ketika jumlah yang terkena mencapai angka sangat tinggi," jelas Dr Short.
Contoh, ketika flu babi mulai merebak bulan April 2009, virus ini berbeda dengan jenis virus flu sebelumnya, sehingga menyebar cepat menjadi pandemi.
Sekitar 10 persen penduduk dunia terkena virus tersebut.
Tapi enam bulan kemudian tersedia vaksin untuk memeranginya.
Di tahun berikutnya, flu babi ini menjadi flu musiman, masih beredar namun bukan lagi bersifat pandemik.
"Cukup banyak manusia yang memiliki kekebalan terhadap virus tersebut, entah karena mereka mendapat vaksinasi atau memiliki kekebalan karena sudah pernah terkena virus itu sebelumnya," kata Dr Short.
"Itu berarti kalau seseorang terkena, kita tidak akan menyebarkannya dan keparahannya sudah berkurang. "
Tapi ingat, Virus itu tidak hilang. Pada 2010 virus itu masih ada, tapi sudah ada kekebalan terhadap virus dari 2009. Karenanya tidak menjadi pandemi.
Lalau bagaimana dengan pandemi 1918?
Menurut Dr Short yang membedakannya adalah kekebalan massal.
Baca Juga: 11 Sektor Ini Boleh Beroperasi Seperti Biasa Saat PSBB Total DKI Jakarta, Mulai 14 September 2020
Tanpa adanya vaksin diperlukan waktu lebih lama untuk pandemi flu tersebut hilang, dibandingkan dengan pandemi flu babi di 2009.
Saat itu, tidak ada vaksin. Virus berkembang tanpa kendali dan pandemi itu masih terjadi di beberapa tempat hingga 1921.
Kenapa akhirnya usai? Jawabannya, muncul kekebalan massal, yang akhirnya membuat virus itu jadi flu biasa.
"Virus tahun 1918 tetap menjadi flu biasa sampai 1958, yang kemudian digantikan oleh jenis H2N2, pandemi flu Asia."
Baca Juga: Fakta Hasil Uji Klinis Vaksin Covid-19 pada Manusia Lanjut Usia
Namun puluhan juta manusia di seluruh dunia meninggal sebelum terbentuknya kekebalan massal. Ini yang saat ini harus kita hindari.
Oleh karenanya saat ini, pandemi Covid-19, ilmuwan di seluruh penjuru dunia kini berlomba-lomba menciptakan vaksin untuk mengatasi COVID-19.
Tapi menurut Dr Short, bila nantinya vaksin COVID-19 tersedia tidaklah dengan serta merta berarti pandemi langsung akan berakhir.
"Tidak akan ada misalnya kita mengatakan di tanggal tertentu, virus ini tidak akan menjadi masalah lagi," kata Dr Short.
"Yang akan terjadi adalah kalau ada vaksin, jumlah kasus akan berkurang."
"Selain itu pengobatan akan meningkat dan tingkat kematian menurun."
"Jadi kemudian perlahan menghilang, tidak tiba-tiba terjadi."
Dengan adanya vaksin tidaklah berarti virus ini akan menghilang, bahkan setelah masa pandemi dilalui.
"Menghilangkan virus dari dunia ini sangatlah sulit."
"Kita baru pertama kali berhasil melakukannya terhadap cacar air," kata Dr Short.
"Untuk melakukannya, kita perlu strategi global."
"Selain itu juga vaksin itu haruslah bisa 100 persen melindungi kita terkena virus dan juga melihat kemungkinan mutasi virus tersebut termasuk di binatang," papar Dr Short dari University of Queensland.(*)
#berantasstunting
#HadapiCorona
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Prediksi Kapan Covid-19 Berakhir lewat Sejarah Berakhirnya Pandemi Flu"
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar