GridHEALTH.id - Setelah sempat menuai pro kontra, akhirnya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) DKI Jakarta yang dilakukan secara ketat kini telah melewati hari ke-10.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dinilai terlalu terburu-buru mengambil langkah melakukan PSBB ketat.
Bahkan pemerintah pusat, Presiden Joko Widodo sempat menangguhkan adanya penerapan PSBB tersebut.Jokowi menilai bahwa pembatasan sosial berskala mikro (PSBM) di tingkat komunitas dirasa lebih tepat.
"Lebih baik pembatasan di skala lebih kecil, misalnya lingkup RT, RW atau desa atau lingkup komunitas lebih kecil. Ini lebih efektif karena tidak semua wilayah dalam satu provinsi itu zona merah semua, sebab ada zona hijau," kata Jokowi dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi media di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (10/9/2020).
Pembatasan sosial berskala mikro (PSBM) atau penanganan Covid-19 tingkat desa/kelurahan dinilai mampu menumbuhkan komitmen masyarakat untuk memutus sebaran SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19.
Kendati demikian, Anies Baswedan tetap nekat menerapkan PSBB ketat dengan klaim telah disetujui pemerintah pusat.
"Iya kalau soal dukung, mendukung. Jadi, pemerintah dukung, pemerintah pusat menyadari lonjakan yang cukup signifikan di bulan September ini," kata Anies di Balai Kota, Sabtu (12/9/2020), dikutip dari Kompas.com.
Baca Juga: Sama-sama Efektif Saring Virus, Ini Perbedaan Masker N95 dan KN95
"Jadi sama-sama kita menyadari bahwa tanpa kita membereskan kesehatan, tidak mungkin ekonomi bergerak," sambungnya.
Melihat adanya perbedaan pandangan antara pusat di Pemprov DKI, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M Jamiluddin Ritonga angkat bicara.
"Kasus relasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah DKI Jakarta misalnya kerap terlihat dalam ketidaksetaraan. Hal ini membuat komunikasi antara Pusat dan DKI Jakarta terganggu dalam mengatasi Covid-19," jelasnya, kepada Tribunnews.com, Kamis (24/9/2020).
Tak hanya itu, Jamiluddin juga mengomentari mengenai pidato Presiden Joko Widodo pada Sidang Majelis Umum ke-17 PBB secara virtual yang mendorong PBB untuk lebih responsif dan efektif dalam menyelesaikan tantangan dunia.
Jamiluddin menilai keinginan presiden tersebut sangat standar dan normatif. Sebab, setiap lembaga memang harus responsif dan efektif dalam menyelesaikan berbagai rantangan dunia yang datang silih berganti.
Lembaga yang tidak responsif akan dengan sendirinya larut dan terbenam oleh aneka permasalahan.
Oleh karena itu, Jamiluddin menilai prinsif responsif dan efektif seyogyanya diterapkan di Indonesia, terutama dalam mengatasi pandemi Covid-19.
"Namun kita semua tahu, Indonesia dalam menangani pandemi Covid-19 belumlah melaksanakan prinsif responsif dan efektif. Justru diawal pemunculan Covid-19, Indonesia tampak lamban," ujar Jamiluddin.
"Akibatnya, pandemi covid-19 hingga sekarang belum juga melanda. Itu artinya, Indonesia belum melaksanakan prinsif responsif dan efektif dalam mengatasi pandemi Covid-19," imbuhnya.
Selain itu, Jamiluddin juga menyinggung Jokowi yang mengajak dunia untuk mengatasi Covid-19 dalam kesetaraan.
Menurutnya ajakan Jokowi itu memang menjadi salah satu prinsif dalam komunikasi yang efektif.
Karena, kata dia, komunikasi tidak akan efektif bila pihak-pihak yang terlibat dalam penanganan covid-19 merasa dirinya lebih unggul dari pihak yang lain.
Hanya saja, Jamiluddin menilai prinsip tersebut juga belum optimal dilaksanakan di Indonesia.
"Jadi, ajakan Jokowi di PBB tersebut seyogyanya diterapkan di Indonesia dengan sungguh-sungguh. Kebiasaan retorik sudah seharusnya ditanggalkan. Perkataan dan perbuatan harus sinkron agar persoalan Covid-19 dapat diatasi dengan efektif," tandasnya.
#hadapicorona
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Pengamat: Indonesia Belum Laksanakan Prinsip Responsif dan Efektif dalam Atasi Pandemi Covid-19
Source | : | Tribunnews.com |
Penulis | : | Nikita Yulia Ferdiaz |
Editor | : | Nikita Yulia Ferdiaz |
Komentar