GridHEALTH.id - Penggunaan rapid sebagai skrining awal untuk mendeteksi keberadaan virus corona (Covid-19) memang terus menjadi perdebatan banyak pihak.
Dikutip dari The Guardian, rapid test sendiri diketahui bekerja dengan mendeteksi antibodi immunoglobulin melalui darah.
Meski hasil rapid test dapat keluar hanya dalam waktu 15-20 menit, dan bisa dilakukan dimana saja sehingga memudahkan tracing, namun tes Covid-19 ini memiliki kelemahan false negative (positif atau negatif palsu).
False negative inilah yang saat ini menjadi perdebatan para ahli di tanah air. Polemik ini pun akhirnya membuat dokter yang juga relawan Covid-19, Tirta Mandira Hudhi ikut angkat bicara.
Menurutnya ia pun merasa resah akan aturan kewajiban rapid test semenjak pandemi virus corona ini mulai melanda Indonesia.
Keresahannya itu ia sampaikan melalui tulisan di akun Instagram miliknya @dr.tirta pada 23 September 2020 dini hari.
Dalam tulisannya, Dokter Tirta setidaknya mengungkap ada enam keanehan-keanehan dari kewajiban rapid test tersebut.
“Enggak bisa tidur, gatal buat nulis, toh pagi nanti saya masih rapat relawan. Ayok. Kita bahas masalah demi masalah yang mengganjal di mata saya. 7 bulan sudah info lumayan dan lengkaplah. Rapid Test : Bisnis/gimmick/solusi? Silahkan anda nilai sendiri,” tulis Dokter Tirta.
Poin pertama yang ia sorot adalah kemunculan tiba-tiba rapid test berbasis serologi pada Maret 2020 sebagai alat tes Covid-19.
Padahal menurut Dokter Tirta rapid test ini hanya skrining tes saja yang tak bisa menjadi patokan adanya infeksi virus corona.
Kemudian poin kedua, ia menyebut Persatuan Dokter Lab tidak merekomendasikan rapid test, alih-alih seharusnya yang diperbanyak adalah PCR Swab Test.
Poin ketiga yang dokter Tirta sorot adalah rapid test yang dijadikan sebagai syarat semua semua urusan seperti kerjaan, administrasi, transportasi dll.
Sayangnya warga juga justru harus menanggung biaya sendiri dari kewajiban rapid test tersebut.
"TAPI WARGA DISURU BAYAR SENDIRI? LOGIS? RAPID TEST SEROLOGY DISAMAIN KAYA SKCK BUNG !," jelasnya.
Baca Juga: Ironis! Hanya 3 Persen Warga Jabodetabek yang Sadar Akan Pentingnya Menjaga Jarak di Pasar
Lalu poin keempat yang disorot adalah perubahan harga rapid test yang dianggapnya murni masalah bisnis.
"April mei harga meroket di angka 300-400 rebu. Tiba2 skrng 100-150 doank. Kok iso? Lha kalo skrng bisa murah? Trus dulu2 mahal, itu gimana? Brarti harga modal sejatinya rendah, tapi karena ga ada batasan HARGA ECERAN TERTINGGI, JADINYA MAHAL. JUJUR AJA, PURE INI BISNIS ! ADA CERUK LABA YG DIAMBIL DI SINI ! AYOK PEMBELIAN RAPID HARUS DI AUDIT ! :) BRANI GA?," tulis poin keempat.
Baca Juga: Fakta Kontroversial Rapid Test Bukan Rekomendasi IDI dan Hasilnya Palsu
Pada poin kelima, Dokter Tirta menyoroti soal masa berlaku surat hasil rapid test selama 14 hari yang menurutnya aneh.
“Rapid test serology hasilnya berlaku sampai 14 hari stelah rapid. Padahal false positif dan negatif tinggi. Apa yang menjamin kalau rapid saya negatif, terus test berlaku 14 hari, padahal 14 hari saya keliling-keliling, terus tetap aman gitu? Atau buat ayem-ayem aja? Jujur bos!,” tulis Dokter Tirta meminta kejelasan pihak-pihak yang berwenang melakukan rapid test.
Baca Juga: Deteksi Dini Diabetes Pada Bayi Mengapa Penting? Ini Kata Ahli
Pada poin keenam, ia kemudian meminta pihak berwenang untuk segera mengaudit pengadaan rapid test ini.
"Rapid test serology. Saya yakin suatu saat harus Diaudit, kenapa kok ga ambil swab pcr aja yg jelas gold standard. Dan kasi gratis KE SEMUA WARGA DI WILAYAH REDZONE," tulis poin keenam.
Menurutnya masih banyak lagi kenaehan-keanehan terkait penanganan pandemi Covid-29 di tanah air.
"Belum tentang APD LOKAL, INFLUENCER BAYARAN UNTUK BRANDING PARIWISATA, yg jelas2 ada gerakan batesin jalan2, eh malah MUNCUL INFLUENCER PARIWISATA BRANDING SOK SOK AMAN," pungkas dokter Tirta dipostingannya.(*)
Baca Juga: Terganggu Karena Memiliki Panu, Basmi Dengan Bahan-bahan Alami Ini
#berantasstunting #hadapicorona
Source | : | The Guardian,Instagram |
Penulis | : | Anjar Saputra |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar