GridHEALTH.id - Selain infeksi Covid-19, sindrom badai sitokin kini menjadi momok mengerikan di Indonesia.
Jika dilihat dari perspektif historis, badai sitokin alias Cytokine strom sebelumnya disebut sebagai sindrom mirip influenza, yang terjadi setelah infeksi sistemik seperti sepsis dan setelah imunoterapi seperti racun Coley.
Baca Juga: Vaksin Merah Putih Bisa Didapat dengan Harga 71 Ribu Rupiah Mulai Juli 2022
Walau bukan sindrom baru, badai sitokin sudah menjadi hal yang menakutkan bagi pada dokter saat merawat pasiennya.
Apalagi di masa pandemi Covid-19 ini. Dimana pasien Covid-19 rentan terkena badai sitokin yang mematikan.
Karenanya penting bagi dokter untuk mengenali badai sitokin karena memiliki implikasi prognostik dan terapeutik.
Bagi dokter menargetkan sitokin selama pertawatan pasien COVID-19 dapat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup dan mengurangi kematian pasien.
Salah satu terapi yang ditargetkan paling awal untuk pembatalan terjadinya badai sitokin, melansir The New England Journal of Medicine dalam laporan ilmiah dengan judul 'Cytokine Storm', yang ditulis oleh David C. Fajgenbaum, M.D., and Carl H. June, M.D (3/12/2020), adalah anti-interleukin-6 reseptor antibodi monoklonal tocilizumab.
Baca Juga: Efek Somogyi dan Fenomena Fajar Pada Penyandang Diabetes, Apa Bedanya?
Pengobatan ini dikembangkan untuk pengobatan penyakit Castleman multisentrik idiopatik pada 1990-an.
Untuk diketahui, melansir Frontiers in Immunology (30/11/2020) pada artikel ilmiah dengan judul 'Controlling Cytokine Storm Is Vital in COVID-19', disebutkan badai sitokin sebelumnya dilaporkan pada rheumatoid arthritis dan penyakit graft-versus-host (GVHD).
Sel-sel kekebalan yang diaktifkan secara abnormal ini dapat melepaskan sejumlah besar sitokin, di antaranya sitokin pro-inflamasi dapat meningkatkan lebih banyak sel kekebalan dalam lingkaran umpan balik positif.
Dalam pembentukan badai sitokin menyebabkan “serangan bunuh diri” yang tidak hanya berkontribusi pada eliminasi mikroorganisme patogen, tetapi juga menyebabkan toksisitas jaringan yang mempengaruhi berbagai organ.
Baca Juga: Bayi Sakit Tidak Boleh Pakai Masker, Inilah 4 Cara Mengobati Infeksi Pernapasan pada Bayi
Gejala Pasien yang Mengalami Cytokine Storm alias badai sitokin; gejalanya demam yang dapat menjadi derajat tinggi pada kasus yang parah.
Bisa juga pasien mengalami kelelahan, anoreksia, sakit kepala, ruam, diare, artralgia, mialgia, dan ditemukan juga pasien yang mengalami neuropsikiatri.
Gejala-gejala ini mungkin disebabkan langsung oleh kerusakan jaringan yang diinduksi oleh sitokin, atau perubahan fisiologis fase akut, atau mungkin akibat dari respon yang dimediasi oleh sel imun.
Cytokine Release Syndrome (CRS)
Adapun sindrom pelepasan sitokin alias Cytokine Release Syndrome (CRS), sejenis sindrom peradangan sistemik yang disebabkan oleh badai sitokin.
Sebelumnya diamati pada pasien yang terinfeksi SARS-CoV dan MERS-CoV, serta pada pasien leukemia yang menerima terapi sel T rekayasa.
Gejalanya sindrom pelepasan sitokin, umumnya ringan; demam, kelelahan, sakit kepala, ruam, artralgia, dan mialgia.
Pasien dengan gejala yang lebih parah biasanya datang dengan demam tinggi, sakit kepala, kelelahan, koagulasi intravaskular difus (DIC), syok, kegagalan organ multipel (MOF), atau bahkan kematian.
Baca Juga: Mengenal Gejala Flu Singapura yang Lebih Banyak Menyerang Si Kecil
Mereka yang mengalami CRS, dari hasil abnormalitas laboratorium yang umum termasuk sitopenia, terjadi peningkatan kreatinin dan enzim hati, kadar protein C-reaktif (CRP) yang tinggi, dan parameter koagulasi yang kacau.
Bahkan Lee dkk. melaporkan, sistem penilaian yang dimodifikasi untuk tingkat keparahan CRS terlepas dari agen pemicu, yang mendefinisikan gejala ringan, sedang, berat, mengancam jiwa, dan bahkan kematian.
Perawatan suportif yang waspada direkomendasikan untuk setiap kelas; imunosupresi harus digunakan pada semua pasien dengan CRS grade 3 atau 4 dan dilakukan lebih awal pada pasien dengan komorbiditas yang luas atau orang tua.(*)
Source | : | Frontiers in Immunology |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar