Ketika bakteri sudah kebal dari antimikroba, maka proses pengobatan bisa lebih lama.
Ini dikarenakan antibiotik merupakan sumber daya yang tidak terbaharukan dan saat ini, persediaannya menipis. Perlu waktu lama menemukan antibiotik baru
Untuk menemukan antibiotik yang lebih kuat dibutuhkan waktu yang sangat lama, bisa hingga lebih dari 20 tahun dan menghabiskan banyak biaya.
Tapi bakteri untuk menjadi resisten hanya butuh waktu dua atau tiga tahun.
Karena itu, semua pihak perlu bertindak mengendalikan penggunaan antibiotik di semua sektor agar akses terhadap pengobatan tidak hilang dan kita tidak kembali ke masa di mana antibiotik belum ditemukan.
Mengenai hal ini, Pemerintah Indonesia sendiri sudah menetapkan kebijakan berupa Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di rumah sakit-rumah sakit melalui Permenkes No.8 Tahun 2015 dan juga terdapat beberapa peraturan penggunaan antibiotik di luar rumah sakit.
Baca Juga: Banyak Pikiran Bikin Badan Nyeri, Bubble Warp Bisa Membantu Mengatasi
Tapi sejatinya, tidak hanya peran pemerintah yang diperlukan dalam penanganan resistensi antimikroba (AMR).
Sama seperti pandemi COVID-19, program-program pemerintah akan berhasil jika didukung juga
oleh masyarakyat.
Kontribusi masyarakat dalam pencegahan dan penanganan AMR diperlukan; dalam menggunakan antibiotik secara bijak, rasional berdasarkan resep dokter, dan tuntas sesuai petunjuk dokter. Sehingga angka kesembuhan meningkat dan mencegah kejadian resistansi.
Untuk menghambat laju AMR, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Penatagunaan Antimikroba (PGA) yang didasari oleh Permenkes no 8/2015 tentang implementasi PPRA di rumah sakit, yang bertujuan untuk meningkatkan kesembuhan pasien, mencegah dan mengendalikan resistansi antimikroba, menurunkan angka kejadian rawat inap berkepanjangan, dan menurunkan kuantitas penggunaan antimikroba.
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar