GridHEALTH.id - Resistensi antibiotik adalah masalah besar umat manusia. Hal ini tidak bisa dianggap hal biasa dan main-main.
Ketahuilah, pada 2019, melansir milissehatyop.org (15/11/2019), setiap tahun terjadi sekitar 25 ribu nyawa di Eropa, 23 ribu di Amerika Serikat, 38 ribu di Thailand, dan 58 ribu bayi di India melayang karena infeksi bakteri yang kebal antibiotik.
Antimicrobial review menyatakan, prediksi bahwa apabila resistensi terhadap antibiotik tidak dikendalikan sejak saat ini maka pada 2050 dapat terjadi 10 juta kematian terkait resistensi terhadap antibiotik.
Jumlah kematian ini sama dengan 19 kematian dalam 1 menit.
Selain itu, dampak resistensi terhadap antibiotik diprediksi pada 2050 akan menyebabkan 28,3 juta orang jatuh miskin.
Sebab biaya Kesehatan akan meningkat dari 300 milyar dolar menjadi 1 triliun dolar menurut prediksi Bank Dunia.
Hal ini akan berefek terutama pada negara-negara pendapatan rendah dan Indonesia dapat terdampak.
Baca Juga: Selain Sebagai Bumbu Masak, Bawang Putih Juga Punya Khasiat untuk Kulit dan Rambut
Sedihnya, berdasarkan data dari WHO, selama 15 tahun terakhir, penggunaan antibiotik meningkat sampai 91% secara global dan di negara berkembang sendiri meningkat hingga
165%.
Peningkatan tajam ini membuat AMR masuk ke dalam 10 ancaman kesehatan global paling
berbahaya di dunia dan perlu ditangani dengan baik.
Dr. Stuart Levy,presiden Alliance for the Prudent Use of Antibiotiks, menyatakan “antibiotics are uniquely societal drugs because individual use effects others in the community and environment”.
Antibiotik yang kita gunakan secara pribadi ternyata memengaruhi komunitas dan lingkungan.
Bayangkan kalau kita menggunakan antibiotik secara pribadi dan tidak tepat ternyata efeknya tidak hanya kepada diri kita tetapi juga kepada masyarakat dan lingkungan hidup kita.
Baca Juga: Banyak Pikiran Bikin Badan Nyeri, Bubble Warp Bisa Membantu Mengatasi
Sebagai ilustrasi, bila kita menggunakan antibiotik secara serampangan maka kita bisa menciptakan bakteri yang kebal terhadap antibiotik, dan ternyata bakteri tersebut bisa kita pindahkan ke orang lain atau kita pindahkan ke lingkungan sekitar kita.
Asal tahu saja, ketika seseorang mengonsumsi antibiotik, tidak semua bakteri penyebab penyakit akan mati. Beberapa selamat dan akan mengalami mutasi.
Bakteri yang lolos tersebut, dari pengobatan dan tidak mati, bisa berkembang biak dengan cara memecah dirinya.
Sel bakteri akan membelah setiap 20 menit. Sehingga, dalam delapan jam, ada 16 juta sel bakteri membawa gen yang resisten.
Hal ini jelas berbahaya apabila seseorang mengalami penyakit akibat bakteri yang resisten.
Baca Juga: Ruam Jadi Gejala Awal dan Komplikasi Diabetes, Begini Macam-macam Bentuknya
Ketika bakteri sudah kebal dari antimikroba, maka proses pengobatan bisa lebih lama.
Ini dikarenakan antibiotik merupakan sumber daya yang tidak terbaharukan dan saat ini, persediaannya menipis. Perlu waktu lama menemukan antibiotik baru
Untuk menemukan antibiotik yang lebih kuat dibutuhkan waktu yang sangat lama, bisa hingga lebih dari 20 tahun dan menghabiskan banyak biaya.
Tapi bakteri untuk menjadi resisten hanya butuh waktu dua atau tiga tahun.
Karena itu, semua pihak perlu bertindak mengendalikan penggunaan antibiotik di semua sektor agar akses terhadap pengobatan tidak hilang dan kita tidak kembali ke masa di mana antibiotik belum ditemukan.
Mengenai hal ini, Pemerintah Indonesia sendiri sudah menetapkan kebijakan berupa Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di rumah sakit-rumah sakit melalui Permenkes No.8 Tahun 2015 dan juga terdapat beberapa peraturan penggunaan antibiotik di luar rumah sakit.
Baca Juga: Banyak Pikiran Bikin Badan Nyeri, Bubble Warp Bisa Membantu Mengatasi
Tapi sejatinya, tidak hanya peran pemerintah yang diperlukan dalam penanganan resistensi antimikroba (AMR).
Sama seperti pandemi COVID-19, program-program pemerintah akan berhasil jika didukung juga
oleh masyarakyat.
Kontribusi masyarakat dalam pencegahan dan penanganan AMR diperlukan; dalam menggunakan antibiotik secara bijak, rasional berdasarkan resep dokter, dan tuntas sesuai petunjuk dokter. Sehingga angka kesembuhan meningkat dan mencegah kejadian resistansi.
Untuk menghambat laju AMR, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Penatagunaan Antimikroba (PGA) yang didasari oleh Permenkes no 8/2015 tentang implementasi PPRA di rumah sakit, yang bertujuan untuk meningkatkan kesembuhan pasien, mencegah dan mengendalikan resistansi antimikroba, menurunkan angka kejadian rawat inap berkepanjangan, dan menurunkan kuantitas penggunaan antimikroba.
Tim dari PGA ini berfungsi untuk membantu pelayanan kesehatan di rumah sakit dalam
menerapkan penggunaan antimikroba secara bijak dan mendampingi Dokter Penanggung Jawab
Pelayanan (DPJP) dalam menetapkan diagnosis penyakit infeksi, memilih jenis antimikroba, dosis,
rute, saat dan lama pemberian.
Sedangkan tugas dari DPJP adalah menegakkan diagnosis infeksi bakteri, memberikan antimikroba sesuai dengan panduan pelayanan klinik, dan bekerja sama dengan Tim PGA KSM dan Tim PGA KPRA-RS.
Menurut data dari pengeluaran unit farmasi pada 2019, penggunaan meropenem satu gram di RSDS, Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo, pada bulan November 2019 mulai mengalami penurunan setelah diluncurkannya PGA pada bulan Oktober 2019.
Baca Juga: Jangan Sampai Salah, Kanker Serviks Bukan Penyakit Keturunan
Selain itu, bakteri resistan terhadap karbapenem yang sebelumnya berada di angka 17.19% pada bulan Oktober 2019, turun menjadi 10.94% pada bulan November dan 3.13% pada bulan Desember.
Hal itu dipaparkan oleh Dr. dr. Harry Parathon, Sp.OG(K), Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) RI Periode 2014-2021, pada Webinar dalam rangka peringatan World Antibiotic Awareness Week 2021 dengan tajuk: #TUNTASBERITUNTASPAKAI: Kebijakan Peresepan dan Praktik Penjualan dan Konsumsi Antibiotik di Indonesia (5/11/2021) yang diikuti oleh GridHEALTH.id.(*)
Baca Juga: Keputihan Abnormal, Gejala Kanker Serviks yang Sering Tidak Disadari
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar