GridHEALTH.id - Terapi pengobatan dijalankan atau tidak pada seorang pasien, keputusannya bukan di tangan dokter, tapi di tangan pasien itu sendiri.
Dokter hanya sebatas menyarankan, terlaksana atau tidak terapi pengobatan tersebut dikembalikan kepada keputusan pasien dan keluarganya.
Tapi terapi pengobatan yang disarankan dokter haruslah berlandaskan ilmiah atau ada pijakan evidence based-nya.
Dokter sama sekali tidak boleh memberikan saran terapi pengobatan, apalagi sampai melakukan tindakan terapi pengobatan tanpa berlandaskan evidence based.
Jika ada dokter yang nekat melakukan hal tersebut, karena setiap dokter di Indonesia anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI), maka IDI akan turun tangan.
IDI akan melakukan investigasi, bilamana terbukti bersalah, dokter bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagai anggota IDI oleh IDI.
Sanksi yang berat, sampai pemecatan dari keanggotan. Jadi dokter yang tersebut dipecat sebagai anggota IDI.
Apakah dokter tersebut tidak bisa praktek? Ketahuilah ijin praktek bukan dikeluarkan oleh IDI, tapi pemerintah.
IDI hanya memberikan rekomendasi terkait Surat Izin Praktek (SIP).
Baca Juga: Salah Satu Ciri Kecanduan Pornografi, Cuek Melihat Konten Porno Meski Banyak Orang di Sekelilingnya
Ketentuan tersebut, tertuang dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Jadi jelas, dokter tidak bisa sesuka hati dalam prakteknya kepada masyarakat.
Tapi ada satu hal yang harus kita ketahui bersama dalam hal ini.
Tidak seidkit masyarakat Indonesia yang justru tidak mempedulikan evidence based.
Mereka lebih percaya kepada testimoni oranglain mengenai terapi pengobatan.
Padahal yang namanya testimoni bukan ranah ilmiah dan tidak bisa dipertanggung jawabkan.
Sebaliknya evidence based adalah berlandaskan ilmiah dan bisa dipertanggung jawabkan.
Asal tahu saja, dalam menguji keampuhan suatu metoda pengobatan yang hingga akhirnya legal digunakan, ada beberapa cara atau metodologi yang harus ditempuh.
Bisa menggunakan hasil antara atau “surrogate end point”, misalnya melihat adanya perubahan penanda khusus dari hasil laboratorium, melihat perubahan dari pencitraan khusus (kardiologi nuklir, ekokardiografi, dll) yang digunakan untuk melihat dampak suatu pengobatan.
Baca Juga: Mampukah Vaksin Covid-19 Menangkal Varian XE? Berikut Penilaian Pakar Dunia dan Indonesia
Bisa juga dengan menggunakan data klinis sebagai hasil akhir, misalnya peningkatan kemampuan fisik, penurunan kekerapan dirawat di rumah sakit akibat gagal jantung, penurunan kejadian serangan jantung dan kematian, dan lain lain.
Bisa juga Menilai keunggulan suatu metoda pengobatan, bisa dilakukan dengan membandingkan obat atau metoda baru dengan terapi standar (jika sudah ada), atau membandingkan dengan suatu bahan yang tidak aktif yang disebut plasebo.
Adapun metode yang hirarki tertinggi untuk menguji metode atau terapi pengobatan jika dilakukan randomisasi atau acak.
Di sini pasien dan dokter tak tahu yang mana obat aktif dan mana plasebo, karena kemasan plasebo dibuat sedemikian rupa, sehingga menyerupai bentuk obat atau zat aktif, dan biasanya akan diberi kode dan pada akhir penelitian baru dibuka untuk mengetahui mana yang zat aktif dan mana yang plasebo.
Nah, di sini, menurut dr. Bambang Budiono, Sp.JP, FIHA. FAPSIC, FSCAI, spesialis jantung dan pengamat masalah Kesehatan, dalam keterangan tertulisnya yang dikirim ke redaksi GridHEALTH.id (8/4/2022), kita harus tahu plasebo meskipun bukan suatu zat aktif, bisa memiliki dampak seperti zat aktif, baik khasiat maupun efek sampingnya.
Jadi jangan heran jika ada pasien yang memperoleh kapsul berisi tepung, mengalami penurunan kadar gula darah, penurunan tensi, penurunan kadar cholesterol, maupun berkurangnya keluhan klinis.
Jangan heran juga jika pasien yang memperoleh plasebo mengeluhkan efek samping mirip halnya obat aktif, misal batuk, diare, demam, pusing, dan sebagainya.
Nah, penelitian dengan desain yang baik akan menjawab apakah obat atau metoda yang diberikan pada pasien benar benar memiliki manfaat klinis atau tidak.
Ketahuilah, semakin banyak yang terlibat penelitian, semakin kuat kesimpulan yang bisa diambil, apakah memang bermanfaat atau tak lebih baik dari plasebo.
Baca Juga: Kapan Operasi Pengangkatan Batu Empedu Harus Dilakukan? Ini Penjelasannya
Di akhir tulisannya, dr. Bambang Budiono mengatakan, dunia kedokteran tak memberi tempat untuk testimoni karena tak bisa diuji.
Sekalipun diucapkan oleh seorang Menteri atau bahkan presiden sekalipun, testimoni tak akan pernah memiliki nilai setara bukti klinis.(*)
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar