GridHEALTH.id - Orientasi seksual yang menyukai sesama jenis sering dianggap sebagai sebuah penyimpangan atau penyakit.
Karenanya kaum homoseksual itu dituntut untuk "disembuhkan". Meski sejak tahun 1973 para pakar psikiatri dan dokter di seluruh dunia sudah menyatakan homoseksual bukanlah gangguan jiwa, tetapi pandangan sebagian besar masyarakat tetap tidak berubah.
Hanya ada dua gender, yakni laki dan perempuan, serta ketertarikan seksual seharusnya dengan lawan jenis.
Dokter bedah saraf dari RS Mayapada Jakarta, dr. Roslan Yusni Hasan, mengatakan, orientasi seksual seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelaminnya, melainkan melalui otaknya.
"Sebetulnya orientasi seksual manusia itu omniseksual, artinya kepada apa saja bisa. Semua itu dipengaruhi oleh pertumbuhan otaknya sejak dalam kandungan," katanya dikutip dari Kompas.com (27/01/16).
Oleh karena dipengaruhi oleh otak, menurutnya orientasi seksual seseorang itu tidak bisa diubah, kecuali mengubah bagian tertentu di otaknya.
Hal senada diungkapkan dokter psikiatri Andri, Sp.KJ. "Homoseksual murni itu tidak bisa diubah. Kalau ada yang akhirnya bisa menikah dengan lawan jenis kemungkinan dia biseksual," katanya.
Dalam prakteknya sehari-hari, menurut Andri, orang dengan orientasi seksual homoseksual banyak yang depresi. Tetapi mereka bukan depresi karena orientasi seksualnya.
"Pemicu depresinya biasanya karena mendapatkan stigma dan diskriminasi dari sekitar setelah identitasnya diketahui, bingung menempatkan diri di masyarakat, atau merasa kehilangan orang yang bisa memahami dirinya," ujar dokter dari RS Omni Alam Sutera Tangerang ini.
Baca Juga: Dorongan Seks Rendah Pada Wanita, Coba Terapi Ayurveda Untuk Mengobati Frigiditas
Memang ada kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) yang mengalami ego distonik atau tidak bisa menerima keadaan dirinya sehingga merasa kesepian, malu, dan depresi.
Di sisi lain, pakar neuropsikologi, Ikhsan Gumilar memiliki pandangan terhadap Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT).
Menurutnya, ada peran lingkungan yang membentuk keputusan seseorang memilih menjadi LGBT. Dalam pembuktian ilmiah, ujar Ikhsan, LGBT muncul karena adanya rangsangan.
"Sebuah konsep dunia kedokteran menunjukkan otak akan berhenti berkembang waktu tertentu, tapi riset-riset terbaru berubah secara terstruktur.
Ada bagian otak manusia yang tidak aktif namun saat diperlihatkan gambar-gambar homoseks jadi aktif dan ketika otak ini dikasih suapan itu terus maka itu akan berubah," ujar Ikhsan dalam sebuah diskusi, Jakarta Pusat, Sabtu (23/12/2021), dikutip dari merdeka.com.
Dia juga menyanggah anggapan sejumlah pihak yang menyatakan keputusan seseorang menjadi LGBT hanya berdasarkan faktor psikologi saja. Merujuk dari fakta ilmiah yang telah diuraikannya, Ikhsan mengatakan faktor utama LGBT tersebut adalah lingkungan.
Lebih lanjut, dia juga menegaskan LGBT bisa disembuhkan secara total. Hanya saja, upaya tersebut akan tercapai jika si LGBT memiliki niat untuk keluar dari kelompok tersebut.
Ikhsan mencontohkan upaya pemerintah di inggris beberapa tahun lalu untuk menekan kelompok LGBT.
Disebutkan otoritas yang berwenang akan segera melakukan terapi terhadap kelompok LGBT yang memperlihatkan sikap mereka di tempat umum.
Baca Juga: Tetap Tak Tergantikan, ASI Meningkatkan Kekebalan Terhadap Penyakit Infeksi Bayi
.Baca Juga: Waspadai, 5 Dampak yang Bisa Muncul Akibat Kelebihan Berat Badan
"Jadi bisa tidak itu disembuhkan? 100 persen bisa jika mereka mau," ujarnya. (*)
Source | : | Kompas.com,merdeka.com |
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar