GridHEALTH.id - Kasus cacar monyet di masa pandemi Covid-19 seolah membuka mata masyarakat dunia bahwa ada penyakit yang bisa ditularkan dari hewan.
Mewabahnya penyakit-penyakit endemis tersebut dingatkan WHO kepada masyarakat dunia.
Contoh penyakit hewan yang menginfeksi manusia dan menjadi wabah adalah cacar monyet (monkeypox) dan demam Lassa.
Penyebab kuman dari hewan bisa mewabah ke manusia diduga karena perubahan iklim (climate change).
Perubahan iklim mengakibatkan kekeringan serta perubahan perilaku pada manusia dan hewan, termasuk kebiasaan mencari makanan.
Akibat kerentanan ekologi tersebut, kuman patogen (kuman yang menyebabkan penyakit) yang tadinya beredar hanya pada hewan, “melompat” ke manusia.
Meningkatnya kemampuan penyakit-penyakit tersebut untuk memperbanyak diri dan menyebar dalam masyarakat, memungkinkan terjadi pandemi lagi.
Jadi dari Covid-19 kita belajar banyak hal untuk merespon wabah bersama-sama sebagai satu komunitas dunia.
Menurut Mike Ryan dari WHO, perubahan iklim berkontribusi pada kondisi cuaca yang berubah dengan cepat seperti kekeringan, hewan dan manusia mengubah perilaku mereka, termasuk kebiasaan mencari makanan.
Baca Juga: Healthy Move, Yoga dan Tai Chi Latihan Paling Aman Untuk Penderita Atritis
Sebagai akibat dari "kerapuhan ekologis" ini, patogen yang biasanya beredar pada hewan semakin banyak menyerang manusia," paparnya.
Tapi, dijelaskan lebih lanjutm “Sayangnya, kemampuan untuk memperkuat penyakit itu dan menyebarkannya di dalam komunitas kita meningkat – jadi faktor munculnya penyakit dan amplifikasi penyakit telah meningkat.”
Mengenai hal itu Ryan memberi contoh tren peningkatan kasus demam Lassa, penyakit virus akut yang disebarkan oleh hewan pengerat endemik Afrika.
“Dulu kami memiliki setidaknya tiga hingga lima tahun antara wabah Ebola, sekarang beruntung jika kami memiliki tiga hingga lima bulan,” tambahnya.
“Jadi pasti ada tekanan ekologis dalam sistem.”
WHO sendiri mengatakan, sejauh ini telah menerima laporan lebih dari 550 kasus penyakit virus yang dikonfirmasi dari 30 negara di luar Afrika sejak laporan pertama pada awal Mei.
Sementara itu, direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyoroti, meskipun kasus COVID-19 menurun secara global, ada wilayah seperti Amerika dengan tren yang mengkhawatirkan.
Di Korea Utara, para pejabat menduga ada lebih dari 3,7 juta kasus orang demam, yang bisa jadi adalah COVID, ketika negara itu berjuang melawan wabah COVID pertamanya.
Ini menyatakan keadaan darurat dan memberlakukan penguncian nasional pada waktu itu.
Baca Juga: Inilah 4 Makanan Meningkatkan Gairah Seksual yang Popular di Asia
Ryan mengatakan meskipun WHO telah menawarkan dukungan negara itu dalam hal vaksin, perawatan dan pasokan medis lainnya, ia mengalami masalah dalam mengamankan akses ke data mentah yang akan mencerminkan situasi di lapangan.
Pengalaman COVID telah memicu WHO untuk memulai proses untuk merancang dan menegosiasikan perjanjian internasional untuk memperkuat pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi.
Jadi menurut Ryan, pandemi, seperti perubahan iklim, mempengaruhi setiap warga di planet ini.
“Kami telah melihat kesulitan yang kami hadapi dalam pandemi ini – kami mungkin menghadapi pandemi yang lebih parah di masa depan dan kami harus jauh lebih siap daripada sekarang,” jelas Ryan.
Untuk itu, "Kita perlu menetapkan pedoman tentang bagaimana kita akan mempersiapkan dan bagaimana kita akan merespons bersama. Itu bukan tentang kedaulatan. Itu tentang tanggung jawab," tegas Ryan.(*)
Baca Juga: Stop Resepkan Obat Berlebihan pada Pasien, Ini Cirinya yang Harus Diketahui
Source | : | Medscape-kuman hewan |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar