GridHEALTH.id - Bermula dari kasus gagal ginjal akut, pejabat BPOM diperiksa Bareskrim.
Tim Pencari Fakta (TPF) kasus gagal ginjal Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengungkapkan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah lalai mengawasi obat sirup yang beredar di masyarakat.
Hal ini tecermin dengan adanya kasus gagal ginjal akut yang menewaskan 195 anak-anak, yang diduga karena mengonsumsi obat sirup mengandung zat kimia berbahaya etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
Ketua Tim Pencari Fakta BPKN, Mufti Mubarok mengatakan, pihaknya menemukan BPOM tidak melakukan pengawasan terkait izin edar perusahaan farmasi dan sebaran distribusi bahan baku obat sirup yang digunakan oleh perusahaan farmasi "nakal" selama 3 tahun terakhir.
"Audit kita 3 tahun terakhir enggak ada pengawasan sama sekali dalam konteks obat sirup ini," kata Mufti saat dihubungi Kompas.com, Senin (14/11/2022).
"Dengan anggaran yang besar itu, enggak ada audit mereka terhadap sebaran distribusi, bahan baku, izin mereka. Artinya kan, kelalaian. Kalau begitu, berarti sistemik," sambung Mufti.
Mufti menyampaikan, pengawasan BPOM tidak bisa hanya berhenti pada pemberian izin edar dan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) perusahaan farmasi.
Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua BPKN ini menuturkan, perlu ada inisiatif BPOM untuk menginisiasi sampling terhadap produk jadi, dengan cara meminta perusahaan farmasi mengirim contoh produk kepada BPOM untuk diperiksa.
Sayangnya, hal ini luput dari kerja-kerja BPOM.
Oleh karena itu, dia meminta lembaga pengawas obat dan makanan itu meminta maaf kepada masyarakat, terutama mereka yang menjadi korban gagal ginjal akut.
"Harus (minta maaf), karena ini kelalaian. Kalau satu orang meninggal mungkin enggak lalai, tapi kan ini sudah 200 lebih (kasusnya). Artinya terstruktur dan 28 provinsi penyebarannya di mana-mana," tegas Mufti.
Baca Juga: Pentingnya Mengenal Penyakit Kanker Ginjal, Seberapa Bahaya?
Source | : | Serambinews.com |
Penulis | : | Magdalena Puspa |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar