GridHEALTH.id - Kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) yang terjadi pada anak-anak, kini perlahan mulai reda pembicaraannya di antara masyarakat.
Tapi dampak kasusnya belum usai hingga kini, khususnya prihal hak keluarga korban. Bahkan beberapa korban selamat kini mengalami kelumpuhan.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, pada Rabu (16/11/2022), tercatat tidak ada penambahan kasus sejak akhir Oktober.
Setelah melalui serangkaian pengujian dan kajian ulang, ditemukan bahwa kasus gangguan ginjal akut pada anak yang kasusnya mulai meningkat pada Agustus 2022 terjadi karena toksikasi obat.
“Karena itu kita memberikan larangan, kemudian kita melakukan penelitian oleh Badan POM dan mendatangkan obat antidotumnya, alhamdulillah gerakan cepat ini menghasilkan satu hal yang sangat kita harapkan yaitu tidak adanya penambahan kasus maupun kematian,” kata Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril, dalam konferensi pers virtual, Rabu (16/11/2022).
Meski tidak adanya penambahan kasus yang dilaporkan oleh Kemenkes, bukan berarti persoalan terkait masalah kesehatan ini berakhir begitu saja.
Tim Pencari Fakta Gangguan Ginjal Akut yang dikepalai oleh Wakil Ketua BPKN, Mufti Mobarok, mengatakan di lapangan kasus ini masih ada.
Meskipun sebelumnya Menkes Budi Gunadi Sadikin menyatakan telah selesai, karena tidak ada penambahan kasus.
“Sebenarnya kasus masih ada, kasus yang masih berjalan masih banyak, bukan zero,” kata Mufti kepada GridHEALTH.id, Jumat (2/12/2022).
Selain itu, ia juga mengatakan bahwa sebagai besar keluarga yang anaknya terdampak oleh panyakit ini masih belum mendapatkan haknya.
Tim Pencari Fakta menuntut pemerintah melakukan langkah-langkah yang real dan berpihak kepada kepentingan korban.
“Saya kira Kemenkes harus mengambil langkah-langkah yang cukup real, berpihak terhadap kepentingan korban. Karena mereka juga masih bayar, ketika pulang dan lain-lain,” ujarnya.
“Sampai saat ini belum ada upaya pemerintah untuk hadir memberikan apapun kompensasi terhadap korban ini,” sambungnya.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga dituntut total menghadapi permasalahan ini. Tidak hanya sekadar menutup pabrik dan mencabut izin edar obat sirup yang tercemar EG dan DEG.
Karena kejadian serupa juga terjadi di Gambia yang menelan lebih dari 60 korban jiwa, akan tetapi penangannya bisa cepat dilakukan.
BPOM juga diminta untuk lebih proaktif melakukan pengujian post market, sehingga kejadian adanya cemaran EG dan DEG pada obat sirup seperti saat ini tidak terulang.
"Rekomendasi kami adalah, bagaimana ada uji lab dalam industri farmasi dan BPOM. Sehingga tidak perlu berdebat soal alat uji dan sebagainya," jelasnya.
Mufti melanjutkan, "Sehingga saat produksi berjalan dari batch berapa misalnya, mereka mengirimkan alat uji terutama EG dan DEG."
Kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal ini yang perlu mendapatkan perhatian tidak hanya saat anak sakit saja.
Mereka yang sudah dinyatakan sembuh dan diperbolehkan untuk kembali ke rumah pun juga membutuhkan perhatian khusus.
Dari posko-posko yang dibuka oleh Tim Pencari Fakta Gangguan Ginjal, sejumlah anak dilaporkan mengalami masalah kesehatan lanjutan setelah dinyatakan sembuh.
"Ketika dinyatakan sembuh bukan berarti sembuh (total). Ternyata juga efek negatif turunan dari gagal ginjal ini juga cukup berbahaya," jelas Mufti.
Beberapa anak penyintas penyakit ini ditemukan mengalami kelumpuhan dan juga kebutaan. (*)
Baca Juga: Cemaran Etilen Glikol yang Manis Bisa Bahayakan Seluruh Tubuh
Source | : | wawancara eksklusif,Keterangan Pers Kemenkes RI |
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar