GridHEALTH.id – Bertahun-tahun Korea Selatan mengalami fenomena godoksa, penyebab kematian akibat kesepian semakin meningkat.
Sebenarnya bagaimana fenomena mati kesepian ini menimpa warga Korsel dan kesepian seperti apa yang memicu kematian? Simak ulasan lengkapnya berikut ini.
Fenomena mati kesepian di Korea Selatan ini dikenal dengan nama Godoksa, yang artinya mati kesepian atau lonely death.
Berdasarkan data dari berbagai sumber yang dirangkum dari Tribunnews Jogja (08/01/2023), data jumlah mati kesepian Korea Selatan 2017-2021, yaitu:
- Tahun 2017: 2.412 orang mati kesepian
- Tahun 2018: 3.048 orang mati kesepian
- Tahun 2019: 949 orang mati kesepian
- Tahun 2020: 3.279 orang mati kesepian
- Tahun 2021: 3.378 orang mati kesepian.
Meskipun pemerintah Korea Selatan belum mengumumkan jumlah kasus mati kesepian pada tahun 2022, namun berdasarkan data lima tahun terakhir dapat terlihat mati kesepian meningkat di Korsel.
Fenomena mati kesepian mengacu pada maraknya kasus orang meninggal dunia tanpa kerabat, hanya sendirian. Mirisnya, korban kesepian ini seringkali ditemukan setelah beberapa hari hingga berminggu-minggu sejak kematiannya. Kondisi ini menyebabkan para korban kesepian memiliki bau yang tidak sedap dan sangat menyengat, dengan hanya meninggalkan surat wasiat.
Baca Juga: Pentingnya Teman Curhat untuk Kesehatan Mental yang Lebih Baik
Berdasarkan informasi yang beredar, mati kesepian yang menimpa pria pada tahun 2021 ada sebanyak 2.817 orang, sedangkan wanita sebanyak 529 orang. Rata-rata orang yang meninggal kesepian berusia 50-60 tahunan.
Berdasarkan penjelasan dari laman mind.org.uk dikatakan kesepian adalah perasaan yang dirasakan seseorang ketika kebutuhan untuk memiliki kontak dan hubungan sosial yang bermanfaat tidak terpenuhi. Kesepian juga disebut bersifat personal, dengan tingkatan kesepian menurut setiap orang berbeda-beda.
Psychology Today menyebutkan kesepian adalah keadaan kesusahan atau ketidaknyamanan yang terjadi ketika seseorang merasakan kesenjangan antara keinginan seseorang untuk hubungan sosial dan pengalaman aktualnya.
Beragam penelitian juga telah menyebutkan bahwa kesepian memiliki ancaman serius bagi kesehatan mental dan fisik seseorang jangka panjang.
Setidaknya ada tiga jenis kesepian yang disebutkan dalam Psychology Today, yaitu:
Dari perspektif eksistensial disebutkan kesepian itu baik untuk jiwa jika dalam kadar yang sedikit dan menjadi bagian yang tak terhindarkan dari pengalaman manusia.
Jenis kesepian lainnya adalah kesepian emosional, kesepian yang muncul dengan perasaan adanya kekurangan hubungan atau ketertarikan. Bentuk dari kesepian emosional adalah jomblo, kondisi saat seseorang butuh tempat bicara namun merasa tidak ada seseorang yang bisa diajak bicara, atau kehilangan orang yang sangat disayang.
Kesepian sosial adalah bentuk kesepian yang terjadi saat seseorang merasa tidak memiliki lingkungan atau kelompok yang sesuai dengan diri. Kondisi ini dapat terjadi seperti saat seseorang memiliki hubungan romantis dengan pasangan tetapi tetap merasa kesepian, lalu saat masuk ke dalam kerumunan yang tidak dikenal maka seseorang dapat merasa kesepian.
Saat seseorang merasa tidak nyaman didekati orang batu dan merasa kehadiran diri tidak dihargai di lingkungan yang lebih luas juga bisa menjadi bentuk dari kesepian sosial.
Tidak hanya warga Korsel, mati kesepian dapat dialami oleh siapa saja, termasuk orang-orang di lingkungan terdekat, maka mulailah untuk berempati agar fenomena mati kesepian juga tidak dialami oleh warga Indonesia.
Meskipun dari banyak data menunjukkan kesepian di seluruh dunia lebih berisiko pada orang dewasa berusia 50 tahun ke atas.
Baca Juga: Kesepian Bisa Membunuh, Periksa Diri Anda Apakah Mengalami Gejala-gejala Ini
Bahkan CDC menyebutkan bahwa ada laporan yang menyoroti kesepian di kalangan tertentu ini lebih berisiko mengalami kesepian hingga mati kesepian, mulai dari:
1. Imigran
2. Populasi orang LGBT
3. Minoritas
4. Korban pelecehan orangtua
CDC menjelaskan lebih lanjut, imigran berisiko mengalaminya karena banyaknya hambatan yang dihadapi, mulai dari bahasa, perbedaan komunitas, dinamika keluarga, dan hubungan baru yang kurang mendalam. Sedangkan untuk populasi gay, lesbian, dan biseksual cenderung lebih kesepian daripada orang heteroseksual, akibat stigma, diskriminasi, dan hambatan untuk peduli.
Ada beragam penyebab seseorang memilih mati kesepian, di Korea Selatan sendiri salah satunya saat tes pegawai negeri, angka bunuh diri meningkat setelah gagal tes.
Penyebab mati kesepian ada banyak, mulai dari pengalaman dukacita, putus hubungan, pension, pergantian pekerjaan, pindah ke daerah tertentu, terasing dari lingkungan, mengalami diskriminasi dan stigma, pernah mengalami pelecahan seksual atau fisik, dan lainnya.
Masalah kesepian yang meningkatkan kematian ini telah menyita perhatian banyak pemerintah negara. Beberapa negara bahkan telah mengintervensi terkait pencegahan fenomena mati kesepian yang dimasukkan dalam tugas kementrian.
Contohnya di Inggris, Perdana Menteri Theresa May sejak tahun 2018 sudah menunjuk Menteri Olahraga sebagai ‘Menteri Kesepian’ untuk bertanggung jawab dalam mengurangi risiko mati kesepian melalui kebudayaan dan olahraga. Menyusul pada tahun 2021, Perdana Menteri Jepang, Yoshihide Suga juga menunjuk anggota Kabinet Tetsushi Sakamoto sebagai ‘Menteri Kesepian’ pertama yang diberi tugas mengurangi kesepian dan isolasi sebagai tanggapan atas meningkatnya kematian akibat bunuh diri.
Sedangkan untuk di Korea Selatan sendiri pembahasan mengenai peran pemerintah untuk mencegah kesepian dan menurunkan fenomena mati kesepian di Korsel masih terus berlangsung, setelah sebelumnya masih ada pihak yang menolak dan di sisi lain tekanan untuk pemerintah ikut membantu mengendalikan fenomena godoksa ini semakin tinggi. (*)
Baca Juga: Saat Alami Stres, Cobalah Untuk Menelepon Ibu dan Rasakan Manfaatnya
Source | : | psychology today,CDC,Tribun Jogja,mind.org.uk,Newsinfo.inquirer.net |
Penulis | : | Vanessa Nathania |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar