GridHEALTH.id - Tuberkulosis alias TBC masih menjadi masalah kesehatan dengan angka kejadian yang cukup tinggi.
Ini adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang memengaruhi paru. Bakteri tersebut menyebar melalui droplet yang keluar saat batuk, bersin, atau bernyanyi.
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat pada 2 Januari 2023 ada sekitar 969.000 kasus TBC aktif, dengan 301 kasus TB per 100.000 penduduk.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkannya sebagai penyakit menular yang mematikan, karena dapat merenggut lebih dari 1,5 juta nyawa setiap tahunnya.
Memang benar, TBC dapat sembuh total apabila diobati dengan benar. Tapi, ada juga risiko terjadinya TB-Resisten Obat (TB-RO) yang menjadi risiko kedaruratan masyarakat di seluruh dunia.
Secara global, kasus TB-RO mengalami peningkatan di tahun 2020 dan 2021. Diperkirakan ada sekitar 450.000 orang penyintas penyakit ini yang mengalami resistensi terhadap antibiotik rifampicin.
Akan tetapi, hanya 30% saja kasus yang terdeteksi dan terdaftar dalam pengobatan TB-RO.
Sementara itu, kasus TB-RO di Indonesia hanya 40% yang terdeteksi. Sisanya sebanyak 60% masih menjadi masalah laten dan menjadi penghambat bagi pemerintah untuk mencapai target eliminasi kasus 65 per 100.000 penduduk pada 2030 mendatang.
Oleh karena itu, dibutuhkan peningkatan infrastruktur untuk deteksi resistensi obat TB.
Pasalnya, tidak ada perbedaan gejala yang dialami oleh penyintas TBC biasa dengan TB-RO.
Gejala TBC misalnya demam dengan suhu yang tidak terlalu tinggi, kelelahan, dan juga batuk.
Baca Juga: Covid-19 Mulai Terkendali di Indonesia, TBC, HIV, Malaria Menghantui
Sehingga, satu-satunya cara untuk mengetahui risiko tersebut adalah dengan memastikan responsif pasien dengan pengobatan.
Kendala yang dihadapi di Tanah Air, yakni kurangnya kesadaran masyarakat terhadap gejala TBC yang masih rendah.
Kondisi ini dapat menghambat tindakan pencarian pelayanan kesahatan untuk mendeteksi TB-RO secara dini.
"Meskipun membutuhkan keberanian ekstra bagi pasien TB untuk menjalani tes resistensi obat, memberanikan diri untuk menjalani TB-RO adalah cara terbaik bagi mereka untuk sembuh dalam waktu yang diperkirakan," kata Budi Hermawan, Ketua Perhimpunan dan Organisasi Pasien TB Indonesia dan Penyintas TB-RO, dalam siaran pers yang diterima GridHEALTH.id (20/3/2023).
"Pengalaman pribadi saya mengajarkan saya bahwa peralatan medis yang canggih untuk pemeriksaan TB-RO berkontribusi pada diagnosis yang akurat, cepat, dan menjadi variabel utama dalam upaya saya untuk sembuh dari TB," sambungnya.
Bertepatan dengan peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia, Illumina dan GenoScreen meluncurkan Next Generation Sequencing (NGS).
Hal ini bertujuan untuk memperluas akses terhadap pengujian genome dan memungkinkan pengobatan yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien Tuberkulosis.
"Sebagai ahli dalam solusi genomik TB global, kami percaya kemitraan dengan Illumina akan mempercepat penyebaran global uji Deeplex Myc-TB kami, terutama untuk negara-negara yang membutuhkan," kata Andre Tordeux CEO GenoScreen.
Alat ini bekerja dengan menggunakan pendekatan berbasis kultur bebas, sehingga mampu mengindentifikasi mikobakteri TB dan lebih dari 100 spesies mikrobakteri non-TB.
Tak hanya itu, dapat juga memprediksi resitensi seseorang terhadap 15 antibiotik dalam kurun waktu 24 hingga 48 jam, dari sampel pernapasan primer.
Penerapan alat ini diharapkan dapat bermanfaat bagi program pemberatasan TB secara nasional maupun global. (*)
Source | : | Siaran Pers |
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar