GridHEALTH.id - Pembahasan terkait RUU Kesehatan akan dilanjutkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI ke Tingkat II atau rapat paripurna.
Hal tersebut diputuskan oleh badan legislatif setelah melakukan rapat kerja, pada Senin (19/6/2023).
Seperti yang diketahui, dalam perjalanan RUU ini muncul pro kontra. Sampai hari ini pun, organisasi profesi kesehatan masih berupaya melakukan penolakan RUU Kesehatan.
Salah satu poin dari penolakan RUU Kesehatan adalah dihilangkannya organisasi profesi (OP) di bidang kesehatan oleh pemerintah.
Perlu diketahui, dalam Pasal 1 ayat (12) UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik kedokteran, telah disebutkan bahwa Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah organisasi profesi untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) untuk profesi dokter gigi.
Hal yang sama juga berlaku untuk organisasi profesi lainnya, seperti Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) serta Ikatan Bidan Indonesia (IBI).
Sementara itu, dalam RUU Kesehatan Omnibus Law, organisasi-organisasi profesi tersebut tidak dimasukkan.
Lantas, bagaimana nasib organisasi profesi ke depannya bila RUU ini benar disahkan?
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr. Moh. Adib Khumaidi, SpOT, mengatakan, hal yang perlu diperhatikan apabila RUU ini disahkan tidak hanya nasib OP, tapi juga kerugian yang akan dialami oleh masyarakat.
Ia menjelaskan, bahwa OP merupakan organisasi yang berperan dalam pengaturan kompetensi dan juga berkaitan dengan pengaturan etika profesi.
"Di dalam RUU ini, OP tidak diberikan pemahaman seperti OP yang sebenarnya. Apa yang saya sampaikan, tadi itu adalah referensi universal. Referensi internasional terkait hal itu ada," ujarnya dalam jumpa pers Lima Organisasi Profesi di Jakarta Pusat, Senin (19/6/2023).
Baca Juga: Pembahasan RUU Kesehatan Lanjut di Rapat Paripurna, Nakes Jadi Mogok Masal?
"Tapi saat di RUU ini, organisasi profesi (dianggap) adalah organisasi masyarakat," tambahnya.
Padahal keduanya merupakan hal yang berbeda dan keberadaan organisasi profesi juga menurutnya tidak menyalahi ketentuan yang terdapat di pasal 28 UUD 45 terkait kebebasan berserikat berkumpul.
"Bahkan disebutkan dalam keputusan Mahkamah Konstitusi, keberadaan IDI dan PDGI akan memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat," jelasnya.
Lebih lanjut dokter Adib menegaskan, bahwa penolakan RUU terkait hal ini bukan karena OP khawatir kewenangannya dirampas.
Namun, karena dengan dihilangkannya organisasi profesi maka tidak ada kepastian hukum bagi masyarakat maupun tenaga kesehatan dan tenaga medis.
"Kami tidak menyatakan kewenangan dirampas. Tapi, akan ada potensi-potensi permasalahan. Kepastian hukum untuk masyarakat, kepastian hukum untuk tenaga medis dan tenaga kesehatan akan tercederai dengan adanya RUU Kesehatan Omnibus Law," pungkasnya.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh drg. Paulus Januar Satyawan, MS, Ketua Biro Hukum dan Kerjasama Antar Lembaga PDGI.
Dijelaskan, selain untuk kesejahteraan anggota, terdapat dua peranan penting OP bagi dokter dan dokter gigi. Ini sudah tertulis dalam UU Praktik Kedokteran No 29 Tahun 2004.
Adapun dua hal tersebut berkaitan dengan etika profesi dan juga pengembangan profesionalisme.
"Dengan degradasi berarti itu akan semakin sulit bagi kami menjalankan peran pengembangan etika profesi dan pengembangan profesionalisme," ujarnya.
Perlu diketahui, bahwa pengembangan profesionalisme berhubungan dengan perkembangan serta kemajuan untuk mendukung pelayanan kesehatan yang berkualitas.
"Kalau tidak bisa dijalankan sepenuhnya, maka masyarakat juga akan dirugikan," tuturnya. (*)
Baca Juga: RUU Kesehatan untuk Siapa? Ditolak IDI, Kemenkes Tegaskan Bukan untuk Dokter dan Profesi
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Poetri Hanzani |
Komentar