"Tapi saat di RUU ini, organisasi profesi (dianggap) adalah organisasi masyarakat," tambahnya.
Padahal keduanya merupakan hal yang berbeda dan keberadaan organisasi profesi juga menurutnya tidak menyalahi ketentuan yang terdapat di pasal 28 UUD 45 terkait kebebasan berserikat berkumpul.
"Bahkan disebutkan dalam keputusan Mahkamah Konstitusi, keberadaan IDI dan PDGI akan memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat," jelasnya.
Lebih lanjut dokter Adib menegaskan, bahwa penolakan RUU terkait hal ini bukan karena OP khawatir kewenangannya dirampas.
Namun, karena dengan dihilangkannya organisasi profesi maka tidak ada kepastian hukum bagi masyarakat maupun tenaga kesehatan dan tenaga medis.
"Kami tidak menyatakan kewenangan dirampas. Tapi, akan ada potensi-potensi permasalahan. Kepastian hukum untuk masyarakat, kepastian hukum untuk tenaga medis dan tenaga kesehatan akan tercederai dengan adanya RUU Kesehatan Omnibus Law," pungkasnya.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh drg. Paulus Januar Satyawan, MS, Ketua Biro Hukum dan Kerjasama Antar Lembaga PDGI.
Dijelaskan, selain untuk kesejahteraan anggota, terdapat dua peranan penting OP bagi dokter dan dokter gigi. Ini sudah tertulis dalam UU Praktik Kedokteran No 29 Tahun 2004.
Adapun dua hal tersebut berkaitan dengan etika profesi dan juga pengembangan profesionalisme.
"Dengan degradasi berarti itu akan semakin sulit bagi kami menjalankan peran pengembangan etika profesi dan pengembangan profesionalisme," ujarnya.
Perlu diketahui, bahwa pengembangan profesionalisme berhubungan dengan perkembangan serta kemajuan untuk mendukung pelayanan kesehatan yang berkualitas.
"Kalau tidak bisa dijalankan sepenuhnya, maka masyarakat juga akan dirugikan," tuturnya. (*)
Baca Juga: RUU Kesehatan untuk Siapa? Ditolak IDI, Kemenkes Tegaskan Bukan untuk Dokter dan Profesi
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Poetri Hanzani |
Komentar