Find Us On Social Media :

Banyak Pemalsuan Daging Babi Menjadi Daging Sapi, Ternyata Ini Risikonya Mengonsumsi Daging Babi Menurut Ahli Gizi

Daging babi mengandung cacing pita sehingga tidak aman dikonsumsi.

GridHEALTH.id -  Bukan kali pertama, kejadian pengoplosan daging sapi dari daging babi di Tanah Air.

Kali ini, Polresta Bandung berhasil mengungkap peredaran daging babi yang dijual seolah daging sapi di Kabupaten Bandung.

Kapolresta Bandung, Kombes Pol Hendra Kurniawan mengatakan bahwa pengungkapan ini berdasarkan informasi yang didapatkan Satgas Pangan Kabupaten Bandung terkait adanya daging babi yang diolah agar menyerupai daging sapi.

Daging babi ini dijual secara umum di pasar dengan harga Rp 70.000 - Rp 90.000 per kilogram.

Menurut Hendra, para pelaku ini menggunakan boraks agar daging babi ini menyerupai daging sapi.

Pada saat dijual di pasar pun para pelaku menyebut daging itu sebagai daging sapi.

Baca Juga: Heboh Daging Babi Disulap Jadi Daging Sapi Menggunakan Boraks, Begini Efek Samping dan Cara Membedakannya

Baca Juga: Virus Corona di Sekitar Kita, Ini Kiat Aman ke Puskesmas atau Rumah Sakit di Tengah Pandemi Covid-19

Meski termasuk tindakan kriminal dengan cara penipuan ini, masyarakat menjadi resah lantaran daging babi ini dijual dengan harga yang setara dengan daging sapi.

Tak hanya itu, daging babi juga disinyalir merupakan salah satu sumber dari penyakit cacing pita. Lantas, apa saja dampak yang terjadi saat mengonsumsi daging babi?

Menanggapi hal itu, Dosen Prodi Gizi Kesehatan di Universitas Gadjah Mada (UGM), Harry Freitag mengungkapkan, daging babi dianggap berbahaya lantaran ada potensi terinfeksi cacing pita.

"Jadi, daging babi memiliki risiko tinggi mengandung parasit Trichinella spiralis atau roundworm, Taenia solium atau tapeworm, dan Toxoplasma gondii," ujar Harry seperti dikutip Kompas.com, Rabu (13/5/2020).

Menurutnya, pada daging babi memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan daging lainnya. Meskipun hal ini bergantung pada negara, infeksi cacing ini juga dapat dideteksi di negara maju.

Adapun negara maju yang banyak mengonsumsi daging babi yakni Amerika maupun Eropa.

Di dua negara ini juga sering dilakukan infeksi produk-produk daging babi guna mengontrol jumlah daging babi dengan cacing.

Baca Juga: Suti 'Atun' Karno Dilarikan ke Rumah Sakit, Rano Karno Minta Penggemarnya Kirim Doa, Ada Apa?

Baca Juga: Fix, WHO Sebut Virus Corona Tak Akan Pernah Hilang, Sepakat Berdamai Seperti Kata Jokowi?

Meski begitu, Harry mengungkapkan bahwa seiring semakin modernnya zaman, kasus cacing pita pada babi ini mulai berkurang. Salah satu upaya yang dapat dicegah yakni dengan memasak daging tersebut hingga benar-benar matang.

"Oleh karena itu, cara pengolahannya harus tepat salah satunya adalah dimasak dengan benar-benar matang," kata dia.

Sementara itu, dokter spesialis gizi klinik dari Mpchtar Riady Comprehensive Cancer Center (MRCCC) Siloam Hospital, Jakarta Selatan, dr Inge Permadhi juga mengungkapkan hal serupa terkait bahaya mengonsumsi daging babi.

 

" Daging babi juga berisiko menyebabkan infeksi parasit (parasitnya berupa cacing pita dan cacing Truchinella spiralis), sehingga tidak boleh dikonsumsi mentah atau setengah matang," ujar Inge dikutip Kompas.com, Rabu (13/5/2020).

Inge juga mewajibkan agar tidak terkena infeksi dari parasit, sebaiknya daging harus dimasak matang. Hal inilah yang membedakan antara daging babi dengan daging sapi. Menurut Inge, daging sapi dapat dimakan setengah matang atau mentah.

Terkait penyakit yang disebabkan oleh cacing pita, dokter spesialis ahli gizi, DR dr Samuel Oetoro menjelaskan, ada sejumlah gejala yang timbul bagi seseorang yang terinfeksi parasit cacing pita.

Baca Juga: Wah, Ternyata Makan 3 Kue Nastar Kalorinya Setara Sepiring Nasi!

Baca Juga: 'Quarantine 15', Berat Badan Melonjak Karena di Rumah Saja Selama Pandemi Covid-19, Ini Cara Mengatasinya

"Ia akan susah gemuk, dan kekurangan sel darah merah," ujar Samuel kepada Kompas.com, Rabu (13/5/2020). Selain itu, Samuel mengungkapkan, infeksi parasit cacing pita ini umumnya terjadi pada anak-anak, dan sangat jarang dialami oleh orang dewasa. (*)