Find Us On Social Media :

Penyebaran Covid-19 di Indonesia Sudah Tidak Terkendali, Jauh di Atas Angka WHO

Penyebaran Covid-19 di Indonesia sungguh memprihatinkan. Jauh di atas yang disyaratkan WHO untuk disebut terkendali.

GridHEALTH.id - Media Reuters dalam artikel terbaru berjudul "Endless first wave: how Indonesia failed to control coronavirus", menyoroti soal bagaimana Indonesia menanggapi pandemik dan Covid-19  (20/08/2020).

Artikel tersebut menyoroti tanggapan tidak biasa dari beberapa menteri selama enam bulan terakhir atau sejak pandemik Covid-19 terjadi di Indonesia. Mulai dari saran untuk memanjatkan doa, guyonan soal nasi kucing hingga kalung anti corona.

Saran dan "solusi" semacam itu dianggap mencerminkan pendekatan yang tidak ilmiah untuk memerangi pandemik Covid-19 di Indonesia, yang merupakan negara terpadat keempat di dunia.

Kondisi tersebut diperparah dengan tingkat pengujian Covid-19 yang termasuk terendah di dunia serta pelacakan kontak yang tidak maksimal. Terlebih, sejak awal pandemik, pemerintah menolak untuk menerapkan penguncian nasional alias lockdown.

Hingga Rabu (19/08/2020), Indonesia melaporkan 6.346 kematian akibat Covid-19. Jumlah ini merupakan yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara.

Namun diperkirakan bahwa jumlah korban meninggal jauh lebih tinggi dari angka resmi tersebut. Karena jumlah orang yang meninggal dunia dengan gejala Covid-19 akut yang tidak dites tidak termasuk dalam hitungan.

Baca Juga: Tak Tergantung Pada Satu Produsen, Malaysia Siap Bagikan Vaksin Covid-19 Gratis Untuk Semua Warganya

Baca Juga: Tiga Pejabat Kesehatan Donald Trump Mundur, Prihatin Dengan Sepak Terjang Sang Bos Atasi Covid-19

Penularan Covid-19 di Indonesia juga semakin mengkhawatirkan dengan 17% dari mereka yang dites dinyatakan positif Covid-19. Jumlah ini meningkat hampir 25% di luar Jakarta.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka di atas 5% berarti penyebaran Covid-19 sudah tidak terkendali, dan Indonesia jauh di atas angka itu.

 

"Virus ini sudah menyebar ke seluruh Indonesia. Yang kami lakukan pada dasarnya adalah herd immunity," kata Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pengembangan Veteran Nasional di Jakarta, kata Prijo Sidipratomo kepada Reuters (20/08/2020). “Jadi, kita harus menggali banyak, banyak kuburan," jelasnya.

Untuk diketahui, herd immunity merupakan skenario di mana sebagian besar populasi tertular virus dan kemudian kekebalan yang meluas menghentikan penyebaran penyakit tersebut.

Tidak berhenti sampai di situ, hal lain yang juga menarik disoroti adalah soal jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia per kapita yang cenderung lebih rendah dari sejumlah negara lain.

Merujuk pada World O Meter, Setidaknya ada 144.945 kasus Covid-19 yang dikonfirmasi di Indonesia, dari sekitar 270 juta populasi.

Jumlah itu lebih rendah dibandingkan dengan angka yang dilaporkan di Amerika Serikat, Brasil, dan India dan bahkan Filipina yang memiliki kurang dari setengah populasi Indonesia.

Baca Juga: Waspada, Asam Urat Tinggi Tak Tertangani Bisa Sebabkan Radang Sendi

Baca Juga: Studi : Penderita PCOS Lebih Berisiko Terkena Penyakit Jantung

 

Namun angka itu tidak bisa diakui valid sepenuhnya. Reuters menyoroti soal skala sebenarnya dari jumlah infeksi di Indonesia yang mungkin masih tersembunyi akibat jumlah pengujian Covid-19 di Indonesia cenderung lebih rendah bila dibandingkan sejumlah negara tersebut.

Sebagai contoh, India dan Filipina melakukan pengujian Covid-19 empat kali lebih banyak per kapita jika dibandingkan dengan Indonesia.

Sedangkan Amerika Serikat melakukan pengujian 30 kali lebih banyak daripada Indonesia. Dan semua negara tersebut menggunakan tes PCR.

Bandingkan dengan Indonesia yang masih lebih banyak menggunakan rapid test. Pasalnya, studi ilmiah telah menunjukkan bahwa rapid test, yang menguji sampel darah untuk antibodi, ternyata jauh kurang akurat daripada metode PCR atau dikenal juga dengan nama tes swab.

Tes ini dilakukan dengan cara menguji penyeka dari hidung atau tenggorokan untuk mengetahui materi genetik.

Statistik dari Our World in Data, yakni sebuah proyek penelitian nirlaba yang berbasis di Universitas Oxford, menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-83 dari 86 negara yang disurvei untuk keseluruhan tes per kapita.

Sementara itu, komisaris di kantor Ombudsman Indonesia, Alvin Lie, mengatakan kepada Reuters bahwa importir rapid test, termasuk perusahaan besar milik negara dan perusahaan swasta, memperoleh "keuntungan besar" dengan mengenakan biaya kepada konsumen hingga Rp 1 juta, meskipun sebenarnya setiap pengujian hanya berharga sekitar Rp 50 ribu.

 

Baca Juga: Makan Malam Lebih Awal Bantu Bakar Lemak dan Turunkan Gula Darah

 

Baca Juga: Studi: Nikotin Membuat Sistem Imunitas Tubuh Jadi Tak Terkendali

"Kekhawatiran kami belum mencapai puncak, puncaknya bisa datang sekitar Oktober dan mungkin belum selesai tahun ini," kata ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia, Iwan Ariawan kepada Reuters. (*)