Dari 1850 hingga 1930-an, ganja mulai terkenal dengan tujuan rekreasi. Sebagai asupan obat ini meningkat dari waktu ke waktu, The Controlled Substances Act tahun 1970 mengklasifikasikannya sebagai Obat 1 Terjadwal.
Jadi secara alami kontroversi timbul seputar penggunaan ganja secara medis.
Agar lebih ramah medis, THC bahan aktifnya disintesis pada tahun 1966, dan akhirnya disetujui oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan AS pada tahun 1985.
Pada 1999, sebuah studi yang disponsori pemerintah AS oleh Institute of Medicine mengungkap sifat menguntungkan ganja dalam kondisi medis tertentu, seperti mual yang disebabkan oleh kemoterapi.
Sejak 1999, sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menunjukkan bahwa merokok ganja memiliki efek mengurangi rasa sakit.
1996, California menjadi negara bagian pertama yang melegalkan penggunaan ganja untuk tujuan medis, dan sekitar 24 negara bagian sekarang memiliki semacam undang-undang ganja medis.
Sumaiya Kabir pun menjelaskan melalui tulisannya jika ganja memiiki 20 manfaat untuk medis.
Tapi Peter Grinspoon, MD dari Harvard Medical School, melalui tulisannya di health.harvard.edu, “Saya sering mendengar keluhan dari dokter bahwa tidak ada bukti yang memadai untuk merekomendasikan ganja untuk medis, bukti ilmihnya pun sedikit sekali.”
Menurutnya dokter hingga saat ini tidak dan belum memiliki hasil penelitian yang jelas mengenai manfaat ganja untuk medis. “Kita semua harus mempelajarinya, risiko, manfaat, penggunaan ganja untuk medis,” paparnya.
Baca Juga: Nikahi Bujang 56 Tahun Lebih Muda Darinya, Dokter Sarankan Nenek Rohaya Redam Keinginan Punya Anak
Mengenai ganja menurut Peter Grinspoon, MD, memiliki 1000 kompenen aktif.
CBD (which stands for cannabidiol), mempunyai sifat memabukan.
Ada satu hal yang menarik mengenai CBD, Peter Grinspoon, MD mengatakan, pasien melaporkan banyak manfaat CBD.
Mulai dari menghilangkan insomnia, kegelisahan, kelenturan, dan rasa sakit hingga mengobati kondisi yang berpotensi mengancam jiwa seperti epilepsi.
Salah satu bentuk epilepsi masa kanak-kanak yang disebut sindrom Dravet hampir tidak mungkin untuk dikendalikan, tetapi merespons secara dramatis terhadap ganja yang dominan CBD yang disebut Charlotte Web.
Baca Juga: Blak-Blakan Mengenai Kondisi Kesehatan Dirinya, Agung Hercules Terbata-Bata, Mengapa?
Sayang untuk hal ini pun belum ada penelitian ilmiah jelasnya yang bisa dijadikan dasar atau rujukan dokter menggunakan ganja untuk pengobatan.(*)
Source | : | health.harvard.edu,lifehack.org,Kaltim.tribunnews.com,Voaindonesia.com,Jakarta.tribunnews.com |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar