GridHEALTH.id – Dibeberapa Negara, pengguna ganja tidak kucing-kucingan lagi dengan aparat penegak hukum.
Konon kabarnya ganja sudah dilegalkan di negara tersebut.
Salah satu contohnya Thailand, melansir voaindonesia.com (13 Desember 2018), negara tersebut akan menjadi negara di ASIA pertama yang melegalkan ganja.
Akan tetapi, melansir jakarta.tribunnews.com (25 Maret 2019), Deputi Pemberantasan BNN Irjen Pol Arman Depari menilai, tidak ada satu pun negara yang melegalkan ganja.
Menurutnya penggunaan kata legalisasi tidak tepat.
Sebab, menurutnya, yang benar adalah izin pemakaian secara terbatas.
"Jadi tidak dilegalkan di mana-mana, atau boleh dijual dan dipakai oleh siapa saja," kata Arman Depari.
"Yang benar adalah membeli dengan jumlah yang sudah ditentukan atau ada limitasinya."
Bagaimana dengan wacana mengenai ganja di Indonesia yang katanya akan mengikuti Thailand, Belanda, dan Negara lainnya dalam menyikapi ganja?
Ditanya terkait dengan legalisasi ganja di Indonesia, melansir kaltim.tribunnews.com, Kepala Badan Narkoba Nasional Kota (BNNK) Samarinda, AKBP Siti Zaekhomsyah menjelaskan, masyarakat Indonesia belum siap, dan perlu proses serta waktu yang panjang menuju hal tersebut.
"Dibeberapa negara memang sudah ada yang melegalkan ganja, namun masyarakat disana sudah cukup sadar, dan masyarakat kita belum siap," ungkapnya.
Dia pun secara tegas menilai, ganja dapat merusak dan tidak ada hal positif yang didapatkan dari mengkonsumsi ganja, yang masuk dalam kategori narkoba golongan 1.
"Dan, ganja ini merusak, tidak ada segi positif yang didapatkan," tegasnya.
"Yang dapat digunakan untuk medis hanya narkoba golongan 2, biasanya untuk operasi, tapi ganja ini masuk ke golongan 1, jadi tidak bisa," tambahnya.
Mengenai manfaat ganja untuk medis, menurut Sumaiya Kabir dalam tulisannya di lifehack.org (22 Agustus 2018), sebenarnya kita harus melihat pada 2737 SM, dijelaskan bahwa selama periode itu, referensi langsung pertama ditemukan di China dalam tulisan-tulisan Kaisar Cina Shen Nung. Penggunaan pertama produk ganja digunakan untuk agen psikoaktif.
Dalam tulisan-tulisan itu, fokus utamanya adalah pada kekuatannya sebagai obat untuk rematik, asam urat, malaria, dan cukup lucu, karena linglung. Pentingnya nilai obat difokuskan terutama daripada sifat keracunan.
Setelah itu ganja untuk medis mulai menyebar ke belahan dunia lain.
Secara bertahap penggunaannya menyebar dari Cina ke India, dan kemudian ke Afrika Utara, dan mencapai Eropa pada awal 500 Masehi.
Ganja terdaftar di Amerika Serikat Pharmacopeia dari tahun 1850 hingga 1942.
Ganja diresepkan untuk penggunaan medis yang berbeda seperti nyeri persalinan, mual, dan rematik.
Baca Juga: Sama-sama Punya Bayi di Usia 73 Tahun, 2 Rocker Gaek Ini Masih Tokcer Membuahi Wanita
Dari 1850 hingga 1930-an, ganja mulai terkenal dengan tujuan rekreasi. Sebagai asupan obat ini meningkat dari waktu ke waktu, The Controlled Substances Act tahun 1970 mengklasifikasikannya sebagai Obat 1 Terjadwal.
Jadi secara alami kontroversi timbul seputar penggunaan ganja secara medis.
Agar lebih ramah medis, THC bahan aktifnya disintesis pada tahun 1966, dan akhirnya disetujui oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan AS pada tahun 1985.
Pada 1999, sebuah studi yang disponsori pemerintah AS oleh Institute of Medicine mengungkap sifat menguntungkan ganja dalam kondisi medis tertentu, seperti mual yang disebabkan oleh kemoterapi.
Sejak 1999, sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menunjukkan bahwa merokok ganja memiliki efek mengurangi rasa sakit.
1996, California menjadi negara bagian pertama yang melegalkan penggunaan ganja untuk tujuan medis, dan sekitar 24 negara bagian sekarang memiliki semacam undang-undang ganja medis.
Sumaiya Kabir pun menjelaskan melalui tulisannya jika ganja memiiki 20 manfaat untuk medis.
Tapi Peter Grinspoon, MD dari Harvard Medical School, melalui tulisannya di health.harvard.edu, “Saya sering mendengar keluhan dari dokter bahwa tidak ada bukti yang memadai untuk merekomendasikan ganja untuk medis, bukti ilmihnya pun sedikit sekali.”
Menurutnya dokter hingga saat ini tidak dan belum memiliki hasil penelitian yang jelas mengenai manfaat ganja untuk medis. “Kita semua harus mempelajarinya, risiko, manfaat, penggunaan ganja untuk medis,” paparnya.
Baca Juga: Nikahi Bujang 56 Tahun Lebih Muda Darinya, Dokter Sarankan Nenek Rohaya Redam Keinginan Punya Anak
Mengenai ganja menurut Peter Grinspoon, MD, memiliki 1000 kompenen aktif.
CBD (which stands for cannabidiol), mempunyai sifat memabukan.
Ada satu hal yang menarik mengenai CBD, Peter Grinspoon, MD mengatakan, pasien melaporkan banyak manfaat CBD.
Mulai dari menghilangkan insomnia, kegelisahan, kelenturan, dan rasa sakit hingga mengobati kondisi yang berpotensi mengancam jiwa seperti epilepsi.
Salah satu bentuk epilepsi masa kanak-kanak yang disebut sindrom Dravet hampir tidak mungkin untuk dikendalikan, tetapi merespons secara dramatis terhadap ganja yang dominan CBD yang disebut Charlotte Web.
Baca Juga: Blak-Blakan Mengenai Kondisi Kesehatan Dirinya, Agung Hercules Terbata-Bata, Mengapa?
Sayang untuk hal ini pun belum ada penelitian ilmiah jelasnya yang bisa dijadikan dasar atau rujukan dokter menggunakan ganja untuk pengobatan.(*)
Source | : | health.harvard.edu,lifehack.org,Kaltim.tribunnews.com,Voaindonesia.com,Jakarta.tribunnews.com |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar