GridHEALTH.id - Akhir-akhir ini ramai terdengar pasien Indonesia yang mulai mencoba berobat ke luar negeri.
Tanpa tedeng aling-aling, para pasien asal Indonesia ini mengaku jika perawatan di luar negeri lebih memiliki fasilitas yang lengkap dan mumpuni.
Baca Juga: Studi: Jutaan Pasien Diabetes Menerima Pengobatan Berlebihan, Ini Dampaknya Bagi Kesehatan
Mulai dari artis hingga masayarakat biasa yang mampu membayar lebih, kini tak lagi menggantungkan kesehatannya dengan pelayanan kesehatan yang ada di dalam negeri.
Sebut saja, ayah Jessica Iskandar hingga mendiang Ustaz Arifin Ilham yang sampai mengeluarkan biaya hingga ratusan juta rupiah untuk berobat ke luar negeri, khususnya Penang.
Baca Juga: Anak Cynthia Lamusu Idap Penyakit Langka Sejak Lahir, Surya Saputra Berniat Daftarkan Kursus Anaknya
Tahukah, Penang yang merupakan pulau kecil di Malaysia ini sekarang mulai banyak dilirik para pasien asal Tanah Air yang mengidap penyakit serius.
Bahkan menurut Founder and Chairman Center for Healthcare Policy and Reform Studies (Chapters) Indonesia, Luthfi Mardiansyah, sudah banyak masyarakat Indonesia khususnya dari Medan yang memilih Penang sebagi tujuan berobatnya.
"Tingkat pelayanan di rumah sakit Indonesia relatif lebih rendah dibanding negara lain. Banyak pasien kita yang lokasinya di Medan, mereka memilih nyebrang ke Penang Malaysia. RS di Medan juga merekomendasikan pasiennya ke Penang," kata Luthfi Mardiansyah, mengutip Kompas.com.
Baca Juga: Annisa Pohan Unggah Foto Bersama Sepiring Sajian Ini, Warganet: ' Almira Mau Punya Adek Nih'
Peristiwa ini terjadi karena pelayanan kesehatan di Indonesia masih jauh dari kata sempurna.
Pelayanan kesehatan di Indonesia cenderung rendah, terutama bila dibandingkan dengan negara Malaysia dan Singapura.
Meski pemerintah telah mengeluarkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan asuransi kesehatan dari BPJS Kesehatan, itu masih dinilai belum cukup bila pelayanan dan prosesnya masih banyak menyulitkan masyarakat.
"Prosesnya itu sendiri masih belum membantu. Sampai hari ini masih kita lihat antrian panjang di beberapa rumah sakit. Mereka, pasien yang menderita penyakit berat, harus menunggu 1 bulan di rumah, hal-hal tersebut yang mesti kita sikapi dengan baik," ucap Luthfi.
Hal ini pun diakui oleh dr. Ronald Alexander Hukom, MHSc, Sp. PD-KHOM, FINASIM, dokter spesialis penyakit dalam konsultan hematologi & onkologi medik RS Kanker Dharmais, Jakarta, saat ditemui GridHEALTH.id beberapa waktu lalu dalam konferensi pers Penanggulangan Kanker dalam Era JKN/BPJS Kesehatan.
Baca Juga: Aneka Penyebab Bangun Tidur Leher Terasa Sakit, Salah Bantal Salah Satunya
"Banyak warga negara kita yang masih berobat ke Cina, Malaysia, dan Singapura, karena menganggap mutu pengobatan kanker di Indonesia belum memuaskan," ujar dr. Ronald.
Untuk berobat ke luar negeri, uang yang dikeluarkan tidak sedikit. Bahkan dinilai fantastis.
Baca Juga: Bermain dengan Seutas Tali, Bocah Laki-Laki Ini Hampir Mati Menggantung di Atas Lift
"Berbagai sumber menyebutkan warga negara Indonesia yang berobat ke luar negeri selama ini telah membawa dana ratusan triliun rupiah," tambah dr. Ronald.
Menurut dr. Ronald, padahal dana tersebut bisa membangun sebuah pelayanan kesehatan modern.
Baca Juga: Bermain dengan Seutas Tali, Bocah Laki-Laki Ini Hampir Mati Menggantung di Atas Lift
"Angka ini sebetulnya bisa ditekan jika pemerintah bersama BPJS bisa terus melakukan perbaikan dalam sistem pelayanan kesehatan, termasuk untuk kanker.
"Mungkin hanya diperlukan 3-5% dari (dana) yang dibawa pasien ke luar negeri dalam 5-10 tahun terakhir, untuk membangun pusat (pelayanan kesehatan) kanker modern dengan fasilitas diagnostik dan terapi lengkap di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan," jelasnya.
Baca Juga: Annisa Pohan Unggah Foto Bersama Sepiring Sajian Ini, Warganet: ' Almira Mau Punya Adek Nih'
Selain itu, ia menyebutkan, jika dana tersebut dialokasikan dengan baik dapat membuat pasien tak perlu mendapat rujukan ke rumah sakit di Jakarta.
"Tidak perlu semua pasien kanker dirujuk ke Jakarta," tandasnya.(*)
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Nikita Yulia Ferdiaz |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar