GridHEALTH.id -
Sejarah rokok dimulai di Amerika Selatan pada 4.000 tahun sebelum masehi.
Ketika itu, merokok atau mengunyah tembakau merupakan bagian dari ritual perdukunan.
Baru beberapa abad kemudian tembakau diperkenalkan di daratan Eropa. Setelah Cristopher Colombus menjadi orang Eropa pertama yang menemukan tumbuhan tembakau.
Bangsa Eropa kemudian membawa tembakau itu berbagai tempat dengan menggunakan kapal laut.
Kemudian, para pelaut meniru kebiasaan suku Aborigin yang menggunakan tembakau untuk merokok dengan cara dipadatkan ke dalam pipa atau cerutu.
BACA JUGA: Sama Dengan Rokok Biasa, Vape Juga Bisa Buat Gigi Kuning
Tembakau yang terkenal dengan aromanya yang wangi, ternyata tidak hanya bisa dinikmati dengan cara diisap, namun juga dengan cara dihirup.
BACA JUGA: Ingin Segera Berhenti Merokok, Stop Mengkonsumsi Minuman Ini
Cara kedua ini dinilai lebih ramah lingkungan, karena tidak menghasilkan asap rokok.
Bahkan, dengan menghirup tembakau diyakini dapat menyembuhkan pilek dan mengobati radang hidung.
Cara ini banyak digunakan di bangsa-bangsa di Asia, Afrika, Amerika, dan sebagian Eropa.
Satu lagi cara menikmati tembakau, yakni dengan cara dikunyah.
Ini merupakan kebiasaan yang tersebar di kalangan petani Amerika.
Saat ini, kebiasaan mengunyah tembakau sering dilakukan para atlet baseball.
Penggunaan tembakau kemudian berkembang dengan cara meletakkan tembakau ke dalam sebuah kertas khusus yang dilinting dengan menggunakan tangan.
Rokok pun ditemukan. Dengan cepat cara baru menikmati tembakau ini menyebar dan awalnya amat digemari para pelaut dan tentara.
Pada 1830 tembakau yang dilinting di dalam kertas tiba di Perancis dan negeri ini pula istilah sigaret atau rokok pertama kali ditemukan.
Namun, mesin pembuat rokok pertama yang dipatenkan adalah buatan Juan Nepomuceno Adorno dari Meksiko pada 1847.
BACA JUGA: Penderita HIV di Bekasi Terbanyak Pria Penyuka Sesama Jenis, Kurang Bahagia di Rumah dengan Istrinya
Meski demikian produksi rokok baru meroket setelah mesin baru dikembangkan James Albert Bonsack dari Amerika Serikat pada 1880-an.
Mesin buatan Bonsack ini bisa menggenjot produksi rokok dari hanya 40.000 batang hingga sekitar 4 juta batang dalam sehari.
Pengguna rokok menigkat pesat di dunia Barat pada abad ke-20. Misalnya, di AS pada awal abad ke-20 tercatat konsumsi rokok rata-rata hanya 54 batang per orang setiap tahunnya.
Namun, pada 1965 konsumsi rokok di Amerika Serikat melonjak menjadi 4.295 batang per kapita per tahun. Saat itu 50 persen pria dan 30 persen perempuan menghabiskan 100 batang rokok dalam setahun.
BACA JUGA: Belum Banyak yang Tahu, Jamur Mampu Turunkan Tekanan Darah Tinggi
Pada 2000, konsumsi rokok di AS anjlok hingga 2.092 batang per orang per tahun. Dan pada 2016 kembali turun menjadi 1.691 batang rokok per orang per tahun.
Namun, secara global jumlah konsumsi rokok di dunia masih amat tinggi yaitu mencapai 5,7 triliun batang rokok setahun.
Di negara-negara maju jumlah penikmat memang rokok terus menurun, tetapi tidak demikian di negara berkembang yang jumlah pengguna rokok semakin meningkat.
Seperti dimuat dalam situs tobaccoatlas.com, pengguna rokok di negara berkembang malah bertumbuh.
Di Indonesia, misalnya, pengguna rokok diprediksi bertambah 24 juta orang antara 2015-2025.
Konsumsi rokok di Indonesia juga cukup tinggi yaitu tercatat mencapai 1.675 batang per kapita dalam satu tahun.
Padahal rokok sudah diketahui amat berbahaya bagi kesehatan. Selain mengandung nikotin, rokok memiliki lebih dari 7.000 bahan kimia berbahaya termasuk arsenik, sianida, dan zat beracun lainnya.
Dan, lebih dari 50 zat berbahaya yang terkandung di dalam rokok merupakan karsinogenik atau zat yang bisa memicu munculnya kanker. (*)
#berantasstunting
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sejarah Rokok, dari Fungsi Medis hingga Jadi Candu Dunia", https://internasional.kompas.com/read/2018/05/31/13362751/sejarah-rokok-dari-fungsi-medis-hingga-jadi-candu-dunia?page=all.
Baca Juga : Reynhard Sinaga Gunakan Obat GHB untuk Menjebak Para Korbannya, Apa Efeknya?
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar