GridHEALTH.id - Baru-baru ini kleptomania menjadi perbincangan hangat di publik.
Padahal kleptomania sudah ada sejak lama, namun belakangan kembali mencuri perhatian publik lantaran menjadi isu di drama korea yang berhasil mencetak rating tertinggi dalam sejarah jaringan TV kabel Korea, yaitu The World of the Married.
Kleptomania atau dikenal sebagai penyakit suka mencuri merupakan sebuah penyakit mental.
Penderita kleptomania memiliki keinginan yang tidak dapat dikontrol untuk mencuri objek atau benda.
Namun, berbeda dengan pencuri pada umumnya, pencurian oleh seorang penderita kleptomania tidak berupa benda berharga.
Baca Juga: Jarang Disadari, Glaukoma Jadi Penyakit Utama Pencuri penglihatan
Menurut buku The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM–5) yang diterbitkan American Psychiatric Association, penderita kleptomania sering memiliki gangguan psikologi lain.
Seperti gangguan depresi atau bipolar, gangguan kecemasan, gangguan makan, gangguan kepribadian, gangguan penyalahgunaan zat, dan gangguan kontrol impuls lainnya.
Kleptomania tampaknya melibatkan jalur neurotransmitter di otak yang terkait dengan sistem serotonin, dopamin, dan opioid.
Kriteria DSM-5 untuk kleptomania meliputi beberapa hal, di antaranya:
- Dorongan berulang untuk mencuri dan contoh mencuri objek atau benda yang tidak diperlukan untuk penggunaan pribadi atau keuntungan finansial
- Merasa ketegangan meningkat tepat sebelum pencurian
- Merasakan kesenangan, kepuasan, atau kelegaan pada saat pencurian
- Pencurian tidak dilakukan sebagai respons terhadap delusi atau halusinasi, atau sebagai ekspresi balas dendam atau kemarahan
- Pencurian tidak dapat dijelaskan dengan lebih baik oleh Antisocial Personality Disorder, Conduct Disorder, atau episode manik
Melansir Verywell Mind, terdapat tiga pendekatan dalam ilmu psikologi mengenai penyebab seseorang mengidap kleptomania.
1. Pendekatan psikoanalisis
Beberapa pendapat mengatakan seseorang memiliki kleptomania didorong oleh rasa untuk memperoleh objek atau benda guna mengkompensasi secara simbolis rasa kehilangan atau rasa terabaikan yang ada pada dirinya.
Pada pendekatan ini, pengobatan untuk gangguan kleptomania terletak pada menemukan motivasi yang mendasari perilaku tersebut.
Baca Juga: Bunuh Bocah 5 tahun Akibat Hobi Nonton Film Horor, Ternyata Ini Dampaknya Pada Psikologi Anak
2. Pendekatan kognitif-behavioral
Gangguan dapat dimulai ketika seseorang melakukan pencurian tanpa mendapat konsekuensi yang buruk.
Ketika orang tersebut melakukan aksi pencurian pertama dan berjalan dengan baik, atau tak mendapatkan hukuman, maka kondisi ini memungkinkan perilaku mencuri bisa terjadi lagi di kesempatan lainnya.
Baca Juga: Cegah Duka Traumatis, Para Psikolog Bangun Posko Untuk Keluarga dan Korban Susur Sungai
Sehingga keinginan untuk melakukan tindakan mencuri menjadi sangat kuat, membuat seseorang mungkin akan melakukannya lagi dan lagi.
Ketika berada dalam kondisi yang demikian, mereka memiliki dorongan yang besar untuk mencuri dan tak bisa ditahan.
Bagi orang dengan ganguan kleptomania, tindakan mencuri dapat mengurangi stres dan ketegangan yang dialami individu. Bahkan, dengan seiring waktu akan terbiasa mencuri untuk menghilangkan rasa stres.
3. Pendekatan Biologis
Perilaku pencurian mungkin terkait dengan wilayah spesifik otak dan kemungkinan disregulasi neurotransmiter tertentu.
Penelitian tahun 2006 dalam Psychiatry Research: Neuroimaging, telah mengaitkan munculnya kleptomania dengan disfungsi di lobus frontal otak, yaitu bagian terdepan otak yang terletak tepat di belakang dahi.
Berdasarkan dua kasus yang dilaporkan, trauma tumpul atau trauma fisik pada anggota tubuh mengakibatkan gejala fisik seperti pusing, gejala perilaku seperti agresi, dan gejala kognitif seperti kehilangan ingatan diikuti oleh kemunculan tiba-tiba hasrat terkait kleptomania.
Baca Juga: Cegah Stres di Tengah Pandemi Covid-19, Berikut Arahan dari Kemenkes
Kondisi kleptomania dapat terjadi sendiri, tetapi sering juga muncul bersamaan dengan kondisi lain.(*)
#berantasstunting #hadapicorona
Source | : | Verrywellmind,American Psychiatric Association |
Penulis | : | Levi Larassaty |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar