Mereka juga mendiagnosis sindrom gangguan pernapasan akut, menemukan bahwa paru-paru yang terinfeksi Sharma dipenuhi dengan cairan dan kadar oksigen darahnya rendah. Sebuah tes mengungkapkan infeksi dengan virus corona, dan dia ditempatkan pada ventilator.
Baca Juga: Cara Covid-19 Membunuh Korbannya, Paru-paru Membiru Sampai Tak Berfungsi
“Mereka memberi tahu kami bahwa itu 50-50. Mereka tidak tahu apakah dia akan hidup atau mati." ujar Bina Yamin, adik dari Sharma.
Tubuh Sharma dibanjiri pengencer darah untuk mencegah pembentukan gumpalan tambahan. Demamnya melonjak setinggi 104 derajat Fahrenheit beberapa hari, meningkatkan detak jantungnya dan semakin melumpuhkan paru-parunya.
Kemudian, pada 8 April, Sharma mulai mengalami kejang. Dia dibius lebih dalam dan memakai obat tambahan, dokter pun menghidupkan ventilator.
Baca Juga: Virus Corona Menyasar Sistem Saraf, Pasien Covid-19 Terancam Stroke
Pada pertengahan April dia telah diintubasi selama dua minggu, suatu periode yang dianggap sebagai titik kritis bagi pasien Covid-19.
Tidak ada yang tahu dampak dari stroke itu sendiri, atau apakah Sharma akan dapat berjalan atau berbicara ketika dia bangun.
"Saya mulai kehilangan kepercayaan," ujar Yamin dalam sebuah wawancara.
Source | : | nytimes.com |
Penulis | : | Levi Larassaty |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar