GridHEALTH.id - Kelahiran mati atau bayi mati dalam kandungan menjadi momen paling menakutkan bagi setiap calon orangtua.
Kematian bayi di dalam kandungan dapat terjadi pada siapa saja, bahkan pada wanita yang tidak memiliki faktor risiko apapun, tanpa gejala apapun.
Wanita yang berisiko tinggi adalah wanita yang menderita diabetes atau tekanan darah tinggi sebelum hamil atau selama hamil.
Seperti yang terjadi di Australia, di mana enam bayi sekarat setiap hari di rahim ibu mereka dan kemudian lahir dalam kondisi tak bernyawa.
The Australian Stillbirth Foundation telah bekerja keras selama bertahun-tahun untuk mendanai penelitian penting guna menyelamatkan lebih banyak bayi yang sekaligus menjadi terobosan besar.
Sebuah tim di Hunter Medical Research Institute bersama Profesor Roger Smith menemukan bahwa banyak kelahiran mati yang dipicu oleh plasenta yang menua dan memburuk.
Baca Juga: Deteksi Dini Penyakit Jantung Bawaan Hindari Kematian Bayi Baru Lahir
Baca Juga: Selama Hamil, Wanita Jangan Tergoda Minum 10 Jenis Obat Ini, Taruhannya Kesehatan Janin!
Dan yang lebih penting lagi, peneliti menemukan saat plasenta memecah untuk melepaskan enzim ke dalam darah ibu, yang bisa dilakukan ialah tes darah dalam waktu dekat untuk mengingatkan dokter jika bayi dalam bahaya.
Plasenta sangat penting karena memberi bayi oksigen, aliran darah dan membuat bayi tetap sehat.
Victoria Bowring, General Manager The Stillbirth Foundation mengungkapkan, "Jadi, saat kehamilan berlangsung, pada saat Ibu memasuki trimester ketiga, penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa setelah 41 minggu plasenta tidak berfungsi."
"Ada bukti melalui penelitian yang Profesor Roger lakukan, bahwa jika ada penurunan kesehatan plasenta, itu juga akan memengaruhi bayi," lanjutnya.
Kebanyakan orang mengatakan bahwa mereka tahu apa itu arti penuaan, tapi sulit untuk didefinisikan dan ada definisi matematis bahwa risiko kematian meningkat seiring berjalannya waktu.
Menurut data tentang bayi mati dalam kandungani, penyebabnya sering dikaitkan dengan penuaan plasenta.
Profesor Roger dan timnya terus memeriksa plasenta dari usia kehamilan 37 minggu dan membandingkannya dengan plasenta yang lebih tua hingga 41 minggu dan mencari penanda biokimia penuaan.
Baca Juga: WHO: Cuma Jakarta yang Penuhi Standar Minimum Tes Corona di Jawa
Baca Juga: Lemah Menghadapi Gorengan? Gunakan Minyak Paling Sehat Ini Untuk Menggoreng
"Kami menemukan perubahan dramatis dalam beberapa minggu terakhir kehamilan," katanya, termasuk pelepasan enzim aldehid oksidase, yang berakhir dengan darah ibu.
Ini artinya tes darah dapat membantu mengidentifikasi kondisi calon bayi yang berisiko, yang bisa dicegah lebih awal sebelum masa hidup.
Wanita yang memiliki risiko tinggi harus memperoleh pengawasan yang lebih dan harus memperhatikan pergerakan bayinya beberapa kali sehari setiap harinya, terutama bila kehamilan telah berusia lebih dari 26 minggu.
Baca Juga: Seorang Dokter Bagikan Resep Bagaimana Daun Sirih Bisa Luluhkan Diabetes
Baca Juga: 10 Minuman Terbaik Ini Ampuh Untuk Kurangi Risiko Serangan Jantung
"Segera hubungi dokter anda bila tendangan atau gerakan bayi berkurang. Ada kemungkinan perkembangan mereka gagal atau bahkan bayi mati dalam kandungan," tutup Profesor Roger. (*)
#berantasstunting #hadapicoron
Source | : | nakita.grid.id,pregnancybirthbaby.org.au,Australia Government Department of Health |
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar