GridHEALTH.id – Konflik panas antara Palestina dan Israel yang kembali pecah sejak Senin (10/5/2021) merupakan yang terburuk sejak 2014.
Memanasnya kembali hubungan antara Palestina dan Israel diawali dari peristiwa penggusuran paksa warga Palestina yang ada di wilayah Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur.
Warga Palestina yang tidak terima pun melakukan aksi unjuk rasa yang membuat polisi Israel melakukan blokade di wiilayah tersebut.
Beberapa hari kemudian, konflik pecah di Masjid Al Aqsa. Warga Palestina yang melaksanakan ibadah shalat tarawih dibubarkan oleh pasukan Israel pada Jumat malam (07/05/2021).
Kerusuhan di Masjid Al Aqsa dan penggusuran di wilayah Yerusalem membuat geram faksi Hamas yang kemudian menembakkan roket ke wilayah Israel khususnya Tel Aviv pada Senin (10/05/2021).
Di sinilah pertegangan antara Palestina dan Israel memuncak.
Serangan roket dari kelompok Hamas dibalas oleh Israel yang melakukan bombardir menggunakan jet tempur yang menghancurkan bangunan dan memakan banyak korban jiwa di Jalur Gaza.
Sejak saat itu, serangan demi serangan dikirimkan oleh pasukan Israel yang menghancurkan lebih banyak bangunan dan memakan lebih banyak lagi korban jiwa di Jalur Gaza.
Meledaknya bombardir yang mengucurkan banyak darah korban tidak bersalah ini merupakan sebuah kejahatan perang.
Baca Juga: Ini Dia Makanan Favorit Zionis Israel yang Gempur Masjid Al Aqsa Saat Muslim Palestina Salat Tarawih
Korban jiwa dari konflik kedua negara ini adalah warga sipil yang hak hidupnya dirampas atas nama peperangan.
Yang lebih menyayat hati, banyak korban jiwa yang terkena serangan bom dari Israel ini merupakan anak-anak.
Tidak cuma nyawanya yang menjadi taruhan, ratusan anak-anak harus kehilangan orangtua dan sanak saudaranya akibat ledakan bom yang bisa kapanpun saja terjadi.
Peristiwa peperangan yang terus terjadi di Jalur Gaza tidak hanya membuat anak-anak yang hidup di wilayah ini harus bersiap untuk segala kemungkinan terburuk saat perang sedang pecah.
Mereka yang berhasil selamat juga harus meneruskan hidup dengan segala ingatan mengerikan akan perang yang pernah menghancurkan tempat hidup dan orang-orang yang mereka sayangi.
Posttraumatic stress disorder (PTSD) akibat perang
Sudah bukan menjadi rahasia lagi jika posttraumatic stress disorder (PSTD) sama sekali bukan hal yang baru bagi anak-anak yang tinggal di wilayah Jalur Gaza.
Melansir dari laman American Psychiatric Association, gangguan stres pasca trauma (PTSD) adalah sebuah gangguan kejiwaan yang mungkin terjadi pada orang yang pernah mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis seperti bencana alam, kecelakaan serius, aksi teroris, perang / pertempuran, atau pemerkosaan atau yang diancam akan dibunuh, kekerasan seksual atau cedera serius.
Baca Juga: 4 Penyakit Mulut Akibat Kebiasaan Jorok dan Kelalaian yang Dilakukan Berulang Tiap Hari
Setidaknya bagi anak-anak di Gaza yang lahir sebelum atau sekitar tahun 2008, mereka telah melalui empat kali peperangan.
Dilanis dari Aljazeera, sebuah studi tahun 2014 yang diterbitkan dalam Arab Journal of Psychology menemukan bahwa 92% warga Gaza Palestina berusia antara 13 dan 18 tahun menunjukkan gejala gangguan PTSD.
Kondisi ini tentunya sangat mencengangkan. Gangguan PTSD yang diderita anak-anak akan sangat mempengaruhi kehidupan mereka baik dalam keseharian maupun kehidupan yang akan datang.
Beberapa kondisi mental yang dapat dialami oleh penderita PSTD di antaranya:
1. Intrusi
Pikiran penderita PTSD sering mengulang kilas balik peristiwa traumatis yang nampak begitu nyata sehingga membuat mereka seolah-olah tengah kembali menjalai peristiwa traumatis tersebut.
2. Penghindaran
Penderita PTSD mencoba untuk menghindarisegala hal yang berhubungan dengan peristiwa traumatis yang pernah dialami.
Baca Juga: Manfaat Yoga Mulai dari Hilangkan Stres Hingga Turunkan Berat Badan
3. Perubahan kognisi dan suasana hati
Penderita PTSD dapat mengalami ketakutan, kengerian, kemarahan, rasa bersalah atau malu yang terus-menerus, serta merasa terpisah atau terasing dari orang lain dan tidak mampu mengeluarkan emosi positif.
4. Perubahan gairah dan reaktivitas
Penderita PTSD mungkin akan jauh lebih mudah tersinggung dan mengelurarkan amarah, terlalu waspada terhadap lingkungan sekitar, mudah terkejut, serta mengalami kesulitan berkonsentrasi dan tidur.
Hidup dengan kondisi mental seperti ini tentunya merupakan sebuah hal yang sangat berat untuk dijalani.
Anak-anak yang tidak dapat tumbuh dengan sebagaimana mestinya akan mengalami hambatan dalam kemampuan mereka untuk memperbaiki kehidupan mereka sendiri serta berkontribusi di masa depan.
Trauma pada anak-anak korban perang di Gaza bukan hanya persoalan bagi negara Palestina sendiri tetapi juga merupakan masalah kemanusiaan yang harus mendapatkan perhatian khusus dari dunia internasional. (*)
Baca Juga: Pandemic Fatigue Sebabkan Melonjaknya Kasus COVID-19 di Berbagai Negara, Indonesia Waspada!
Source | : | kompas,ALJAZEERA,psychiatri |
Penulis | : | Anisa Rahmatika |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
Komentar