GridHEALTH.id - Beberapa hari ini masyarakat Indonesia dibuat gempar dengan penjelasan seorang dokter yang tidak percaya Covid-19.
Dokter satu ini dalam penjelasannya begitu meyakinkan prihal Covid-19 yang dia sebut sebagai Plandemi.
Bisa meyakinkan sebab dokter yang bernama lengkap dr. Louis Owien dan memiliki akun Instagram @dr_lois7, setiap penjelasannya slelau panjang lebar dan menggunakan pemahaman medis dan sitilah medis yang dibuat mudah didengar oleh awam.
Nah, salah satunya yang kerap dokter Louis sampaikan adalah istilah dan prihal interaksi antar obat.
Dalam kesempatan kali ini GridHEALTH.id akan mengulas secara sederhana apa itu interksi antar obat atau disebut juga interaksi obat.
Untuk diketahui, interaksi antar obat yang dapat meningkatkan atau menurunkan efektifitas dari salah satu obat.
Interaksi obat dapat menyebabkan penurunan efek obat sehingga hasil terapi tidak maksimal.
Baca Juga: 11 Cara Supaya Lansia Tak Terpapar Covid-19, Tips dari Kemenkes
Jadi, dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu bersamaan dapat memberikan efek masing-masing atau saling berinteraksi.
Interaksi tersebut dapat bersifat potensiasi atau antagonis satu obat oleh obat lainnya, atau kadang dapat memberikan efek yang lain.
Interaksi obat yang merugikan sebaiknya dilaporkan kepada Badan/Balai/Balai Besar POM seperti halnya dengan reaksi obat merugikan lainnya.
Baca Juga: Bukan Hanya Lezat, Rutin Konsumsi Brokoli Nyatanya Punya Banyak Manfaat Luar Biasa Bagi Tubuh
Interaksi obat dapat bersifat farmakodinamik atau farmakokinetik, berikut penjelasan dari Pusat Informasi Obat nasional, Badan POM RI (Lampiran I: Interaksi Obat).
Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang mempunyai efek farmakologi atau efek samping yang serupa atau yang berlawanan.
Baca Juga: Bayi 1 Bulan Meninggal Setelah Dijenguk Kerabat, Hasil PCR Positif Covid-19
Interaksi ini dapat disebabkan karena kompetisi pada reseptor yang sama, atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologik yang sama.
Interaksi ini biasanya dapat diperkirakan berdasarkan sifat farmakologi obat-obat yang berinteraksi.
Pada umumnya, interaksi yang terjadi dengan suatu obat akan terjadi juga dengan obat sejenisnya. Interaksi ini terjadi dengan intensitas yang berbeda pada kebanyakan pasien yang mendapat obat-obat yang saling berinteraksi.
Interaksi Farmakokinetik
Ini adalah interaksi yang terjadi apabila satu obat mengubah absorpsi, distribusi, metabolisme, atau ekskresi obat lain.
Baca Juga: Ditemukan di Belgia, Kasus Pertama TerInfeksi Dua Varian Covid-19
Dengan demikian interaksi ini meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia (dalam tubuh) untuk dapat menimbulkan efek farmakologinya.
Tidak mudah untuk memperkirakan interaksi jenis ini dan banyak diantaranya hanya mempengaruhi pada sebagian kecil pasien yang mendapat kombinasi obat-obat tersebut.
Interaksi farmakokinetik yang terjadi pada satu obat belum tentu akan terjadi pula dengan obat lain yang sejenis, kecuali jika memiliki sifat-sifat farmakokinetik yang sama .
Interaksi farmakokinetik sendiri dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok:
Baca Juga: Golongan Darah Terhadap Risiko Penyakit Jantung, Ada yang Peningkatan Risikonya Hingga 5 Persen
1. Mempengaruhi absorpsi
Kecepatan absorpsi atau total jumlah yang diabsorpsi dapat dipengaruhi oleh interaksi obat.
Secara klinis, absorpsi yang tertunda kurang berarti kecuali diperlukan kadar obat dalam plasma yang tinggi (misal pada pemberian analgesik). Namun demikian penurunan jumlah yang diabsorbsi dapat menyebabkan terapi menjadi tidak efektif.
2. Menyebabkan perubahan pada ikatan protein
Sebagian besar obat berikatan secara lemah dengan protein plasma karena ikatan protein tidak spesifik, satu obat dapat menggantikan obat yang lainnya, sehingga jumlah bentuk bebas meningkat dan dapat berdifusi dari plasma ketempat kerja obat.
Baca Juga: 10 Hari Dalam Perawatan Covid-19, Karena Komorbid Bupati Bekasi Wafat
Hal ini akan menghasilkan peningkatan efek yang terdeteksi hanya jika kadar obat yang berikatan sangat tinggi (lebih dari 90%) dan tidak terdistribusikan secara luas di seluruh tubuh.
Walaupun demikian, penggantian posisi jarang menyebabkan potensiasi yang lebih dari potensiasi sementara, karena meningkatnya bentuk bebas juga akan meningkatkan kecepatan eliminasi obat.
Penggantian posisi pada tempat ikatan protein penting pada potensiasi warfarin oleh sulfonamid dan tolbutamid. Tetapi hal ini menjadi penting terutama karena metabolisme warfarin juga dihambat.
Baca Juga: Waspada, Obesitas Ternyata Bisa Mengurangi Kemampuan Indra Perasa
3. Mempengaruhi metabolisme.
Banyak obat dimetabolisme di hati. Induksi terhadap sistem enzim mikrosomal hati oleh salah satu obat dapat menyebabkan perubahan kecepatan metabolisme obat lainnya secara bertahap, sehingga menyebabkan rendahnya kadar plasma dan mengurangi efek obat.
Penghentian obat penginduksi tersebut dapat menyebabkan meningkatnya kadar plasma obat yang lainnya sehingga terjadi gejala toksisitas. Barbiturat, griseofulvin, beberapa antiepilepsi dan rifampisin adalah penginduksi enzim yang paling penting. Obat yang dipengaruhi antara lain warfarin dan kontrasepsi oral.
Baca Juga: PPKM Diperluas Wilayahnya di Luar Jawa dan Bali, Ini Daftar Wilayahnya
Sebaliknya, saat suatu obat menghambat metabolisme obat lain, akan terjadi peningkatan kadar plasma, sehingga menghasilkan peningkatan efek secara cepat dan juga meningkatkan risiko. Beberapa obat yang meningkatkan potensi warfarin dan fenitoin memiliki mekanisme seperti di atas.
4. Mempengaruhi ekskresi ginjal
Obat dieliminasi melalui ginjal, melalui filtrasi glomerulus dan melalui sekresi aktif di tubulus ginjal. Kompetisi terjadi antara obat-obat yang menggunakan mekanisme transport aktif yang sama di tubulus proksimal.
Contohnya salisilat dan beberapa AINS menghambat ekskresi metotreksat; toksisitas metotreksat yang serius dapat terjadi.
Baca Juga: Cegah Bahaya Konsumsi Garam Berlebih Pada Anak, Ini Takaran Pasnya
PENTING DIKETAHUI
Banyak interaksi obat tidak berbahaya tetapi banyak juga interaksi yang potensial berbahaya hanya terjadi pada sebagian kecil pasien. Terlebih, derajat keparahan suatu interaksi bervariasi dari satu pasien ke pasien lain.
Obat-obat dengan indeks terapi sempit (misalnya fenitoin) dan obat-obat yang memerlukan kontrol dosis yang ketat (antikoagulan, antihipertensi dan antidiabetes) adalah obat-obat yang paling sering terlibat.
Pasien dengan peningkatan risiko mengalami interaksi obat adalah lansia dan orang-orang dengan gagal ginjal atau hati.(*)
Baca Juga: 11 Cara Supaya Lansia Tak Terpapar Covid-19, Tips dari Kemenkes
Source | : | PION - Interksi Antar Obat |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar