“Gejalanya itu terutama dari masalah mood-nya. Gangguan emosional itu, sangat terasa. Bisa ada perubahan hati yang cepat, kecemasan, ketegangan, bahkan kadang-kadang muncul depresi saking putus asanya merasakan nyeri atau tidak nyaman yang berlebihan,” jelas dokter Gorga.
Premenstrual dysphoric disorder terjadi dalam satu atau dua minggu sebelum menstruasi dimulai, karena kadar hormon yang mulai turun setelah ovulasi.
Baca Juga: Pertimbangkan Risiko Hamil Terlalu Cepat Setelah Operasi Caesar
Dokter Gorga menjelaskan, masalah menstruasi PMDD ini jarang terjadi dan menurut literatur hanya dialami oleh sekitar 2% wanita di usia subur.
Jika premenstrual syndrome dapat hilang sendiri tanpa penggunaan obat, berbeda dengan PMDD.
Premsntrual dysphoric disorder membutuhkan penanganan medis.
“Kadang-kadang kita harus memberikan antidepressant, karena dia sudah mengalami depresi akibat masalah PMS-nya ini. Kita bisa berikan (obat) anti-nyeri atau bahkan pil KB untuk mencoba mengurangi rasa nyerinya dan siklus haidnya lebih teratur,” tutur dokter Gorga.
Baca Juga: Inilah Risiko Diabetes Pada Wanita Hamil dan Janin yang Dikandungnya
Penulis | : | Nurul Faradila |
Editor | : | Poetri Hanzani |
Komentar