GridHEALTH.id - Informasi kesehatan sangat dibutuhkan kehadirannya oleh seluruh masyarakat.
Sebab kesehatan adalah kebutuhan mendasar dan utama bagi seluruh manusia.
Nah, untuk menjadi sehat setiap orang perlu belajar, perlu mengetahui ilmunya.
Tapi ingat, ilmu dan informasi kesehatan yang baik dan benar juga bisa dipertanggungjawabkan adalah yang bersandarkan ilmiah, bukan dari cerita, katanya, dan juga testimoni.
Perlu juga diketahui, informasi kesehatan yang kita harapkan tersebut faktanya tidak mudah untuk dibuat.
Membuat informarmasi kesehatan, tentu endingnya supaya banyak dibaca, dilihat, atau disimak masyarakat.
Baca Juga: Hubungan Antara Genetik dengan Diabetes, Bisa Dicegah dengan Cara Ini
Karenanya informasi kesehatan harus selalu disajikan sesuai kebutuhan masyarakat, dan menarik bagi masyarakat.
Namun membuat sebuah informasi seperti itu perlu informasi yang lengkap, pengetahuan yang mempuni, dan pengalaman yang kaya. Sebab membuat informasi kesehatan medis supaya tidak membuat pusing masyarakat itu tidak semudah menyampaikan indahnnya alam Indonesia.
Hal inilah yang tidak banyak dimiliki oleh mereka yang berkecimpung di dunia informasi kesehatan, tak terkecuali agensi PR yang selalu berada di tengah antara pakar dalam hal ini dokter dan para jurnalis dalam hal ini awak media. Belum lagi ditambah adanya pihak ketiga, industri dan atau regulator.
Baca Juga: Mengenal Penyebab Terjadinya Maskne, Munculnya Jerawat Akibat Masker
Karenanya, sebuah agensi PR perlu memiliki spesialisasi, yang mana ia memilih dunia Kesehatan sebagai fokus utama agensinya.
Menurut Eugenia Siahaan, “Berkembangannya dunia kesehatan di Indonesia saat ini tidak diimbangi dengan informasi yang cukup mengenai dunia kesehatan itu sendiri. Edukasi seputar dunia kesehatan masih sangat dangkal. Saya pribadi memiliki kepedulian terhadap dunia kesehatan ini. Apalagi salah satu ukuran kesejahteraan bangsa bisa dilihat dari tingkat kesehatannya,” jelas perempuan kelahiran Jakarta, 28 September 1968, pendiri Eugenia Communications pada 1999.
Dirinya pun mengatakan, “Dunia kesehatan berkembang pesat. Termasuk di antaranya, alat-alat kesehatan, penyakit, pencegahan penyakit, obat-obatan, hingga industri farmasi. Namun sayangnya, masyarakat belum cukup mendapatkan informasi soal ini. Akhirnya ini menjadi tantangan tersendiri khususnya bagi dunia PR kesehatan.”
Dari pengalamnya bergelut sebagai PR, Eugenia mengaku dirinya banyak mendengar keluhan dari para dokter yang kesulitan berkomunikasi dengan masyarakat dalam menyampaikan informasi mengenai dunia kesehatan.
Baca Juga: Menyembuhkan Borok Luka Diabetes dengan 4 Bahan Alami di Sekitar Kita
Penyebabnya karena sulitnya dokter menyederhanakan bahasa medis yang bersifat ilmiah. Nah, karena inilah topik kesehatan kurang diminati masyarakat.
Walhasil, beberapa masyarakat banyak yang terjebak dengan informasi yang salah, ditambah mitos-mitos dan hoaks yang beredar, sehingga sebagian masyarakat lebih percaya dengan pengobatan tradisional dan dukun yang tidak jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.
Hal ini harus dipegang betul oleh agency PR, terlebih saat berhubungan dengan media, dalam hal ini Jurnalis.
“Menjadi hal menarik sekaligus menantang untuk agensi PR seperti kami. Kami selalu berusaha menyederhanakan informasi medis sehingga bisa menjembatani informasi yang benar agar bisa sampai kepada masyarakat. Salah satu caranya yaitu dengan rajin membaca jurnal ilmiah, berbagai literatur dunia kesehatan, hingga bertukar pikiran dengan para dokter,” jelasnya.
Baca Juga: Pengobatan MERS- CoV Semakin Dekat, Ahli Temukan Antibodi Manusia Untuk Melawannya
Tantangan di Masa Pandemi Covid-19
Di era pandemi Covid-19 saat ini, masyarakat, tak terkecuali juranlis, mau tak mau dipaksa untuk hidup dalam dunia digital yang serba cepat.
Masyarakat pun kini semakin giat mencari informasi melalui dunia digital dan internet.
Tapi hal ini, menurut Eugenia, “bisa menjadi lubang hitam untuk informasi terkait kesehatan. Bisa jadi masyarakat menyerap informasi hoaks dengan lebih mudah akibat derasnya arus informasi yang kurang terfilter.”
Ia mencontohkan, dahulu sebelum pandemi melanda, kegiatan press conference atau media briefing dilakukan secara tatap muka.
Hal ini tentu terlihat lebih ideal, karena seorang jurnalis bisa melakukan rekonfirmasi terhadap informasi yang kurang jelas, serta bisa secara langsung mengajukan pertanyaan kepada para narasumber. Pertanyaan yang diajukan pun bisa lebih spesifik lewat door stop interview.
Baca Juga: Eliminasi HIV di Indonesia Jauh dari Target 2030, Wamenkes; Penyebabnya 3 Hal Ini
Tapi di masa pandemi ini tentu hal-hal tersebut tidak bisa terfasilitasi. Aktivitas edukasi PR beralih dari tatap muka menjadi virtual.
Aktivitas edukasi virtual ternyata dapat mengakibatkan informasi yang diterima oleh masyarakat atau wartawan menjadi kurang lengkap karena berbagai faktor, salah satunya karena masih banyak praktisi medis yang masih kaku dalam penyampaian informasi.
“Kami punya pengalaman membuat edukasi virtual yang narasumbernya benar-benar berbahasa ilmiah selayaknya berbicara kepada rekan sesama dokter, alhasil banyak jurnalis yang memberitahukan kami bahwa mereka tidak paham sama sekali mengenai apa yang dibicarakan. Tentu saja kami harus punya solusi terhadap hal ini,” tutur Eugenia.
Salah satu senjata yang dapat digunakan oleh agensi PR untuk menghindari misinformasi adalah dengan membuat press release yang berkualitas.
Dengan adanya press release yang baik dan berkualitas, akan sangat membantu wartawan dalam proses pembuatan berita sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya misinformasi.
Baca Juga: Varian Omicron Lolos dari Netralisasi Vaksin Pfizer/BioNTech, Ini Artinya ....
Nah, dari pengalaman kami selama hampir 2 tahun melakukan edukasi virtual, salah satu peran vital agensi PR adalah menyediakan press release yang baik.
Seorang PR harus sadar betul bahwa informasi kesehatan perlu disebarluaskan secara masif lewat pemberitaan, dan pada saat yang bersamaan.
Memang membuat press release yang baik dan benar tidaklah mudah, perlu ada persiapan panjang, kesiapan khususnya dari para key opinion leader (KOL) untuk mau berkolaborasi agar tema yang diangkat dapat dibawakan secara berbobot, hingga mengemas press release agar benar secara medis tetapi juga nyaman dan menarik untuk dibaca. Yang pada akhirnya, media bisa mengemasnya dengan baik untuk masyarakat.
Tapi itu harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Sebab jika tidak, informasi yang didapat masyarakat bisa salah.
Karenanya dunia informasi kesehatan itu menantang dan unik, terlebih di masa pandemi Covid-19.(*)
Baca Juga: Kasus HIV/AIDS di Indonesia, ODHA Paling Banyak di Jateng, 16 Kabupaten/Kota Belum Pernah Melaporkan
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
Komentar